Jumlah kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan, terutama selama pandemi Covid-19. Akibat kekerasan seksual yang dihadapi, korban merasakan penderitaan, baik fisik maupun psikis, dan dapat menimbulkan trauma yang berpengaruh pada kehidupan masa depannya. Selama ini pelindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual belum memadai, bahkan kadang korban ikut disalahkan. Artikel ini mengkaji pelindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual. Pelindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual telah diatur dalam sejumlah undang-undang, namun pengaturannya terbatas, dan belum mampu melindungi korban secara sistematis dan menyeluruh, sehingga dalam penerapannya banyak dijumpai korban atau keluarganya menolak melaporkan kekerasan seksual yang dihadapinya karena adanya ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan menimbulkan aib bagi korban dan keluarganya. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sejauh ini telah melakukan berbagai program untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban, yaitu perlindungan fisik, perlindungan hukum, pendampingan relokasi, rehabilitasi bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan sosial, hingga dengan memberikan fasilitas kepada korban dalam mengajukan ganti rugi dalam bentuk restitusi. Namun, pelindungan yang diberikan belum optimal, sehingga RUU PKS diusulkan untuk mengatasi hal tersebut. Dalam RUU PKS korban berhak mendapatkan penanganan, perlindungan, dan pemulihan. RUU ini sifatnya melengkapi UU yang telah mengatur pelindungan korban kekerasan seksual, dan lex specialist dari KUHP dan KUHAP.