Buku yang merupakan hasil penelitian dari Tim Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI ini mengulas secara empiris mengenai kebijakan
pemekaran daerah di Indonesia. Penelitian ini mengajukan pertanyaan
pokok mengenai bagaimana evaluasi atas pemekaran daerah serta
melihat potensi penggabungan daerah. Untuk menjawab pertanyaan
penelitian tersebut, tim peneliti mengambil dua studi kasus daerah
otonom baru yakni Kabupaten Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah yang
dimekarkan pada tahun 2008 dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur di
Provinsi Jambi yang dimekarkan pada tahun 1999.
Buku ini memberikan kontribusi penting atas salah satu kebijakan yang
lahir dalam rangka penataan struktur pemerintahan pasca Orde Baru,
yaitu kebijakan pemekaran daerah. Terdapat setidaknya tiga kontribusi
penting kajian ini: kontribusi yang memperkaya objek kajian pemekaran
dan lebih khusus lagi pada dimensi evaluasi kebijakan, kontribusi yang
berkaitan dengan sifat empiris studi ini, serta kontribusi berupa
rekomendasi kebijakan.
Pertama, kontribusi penting penelitian ini dapat dilihat dari sisi objek
kajian yang diteliti. Penelitian ini menambah hasil penelitian empiris di
wilayah kajian yang boleh dikatakan masih agak langka di Indonesia.
Kajian pemekaran secara ilmiah masih terhitung jari jika dibandingkan
dengan objek kajian serupa di wilayah kajian politik dan pemerintahan
daerah. Studi-studi empiris lebih banyak dihasilkan untuk kebijakan
desentralisasi, kajian mengenai pemilihan kepala daerah dan
dinamikanya, persoalan korupsi politik di daerah yang menyertai
kebijakan desentralisasi, dinamika elit lokal, oligarki dan patronase,
perebutan sumber daya di daerah, hingga kajian-kajian yang terkait
dengan bangkitnya identitas lokal pasca Orde Baru. Kendati kajian-kajian
tersebut kadangkala dikaitkan dengan isu pemekaran, namun kerapkali
pemekaran tidak dijadikan isu utama.
Beberapa studi sebelumnya, mengambil beragam perspektif dalam kajian
mengenai pemekaran. Ratnawati (2010) dan Prasojo (2011) misalnya,
mengelaborasi isu pemekaran dari sisi kebijakan, lengkap dengan
identifikasi mereka mengenai faktor pendorong, permasalahan, hingga
tawaran solusi agar kebijakan pemekaran menjadi lebih baik. Melalui
kajian mereka, persoalan-persoalan yang mengiringi implementasi
kebijakan pemekaran telah diidentifikasi seperti soal transfer aset,
ketidakjelasan batas wilayah, keterbatasan sumber daya manusia, hingga
persoalan keterbatasan fasilitas birokrasi di daerah otonomi baru (Prasojo
2011). Ilmuwan lain seperti Kimura (2006, 2007,2010) menelisik isu
pemekaran dengan menggunakan pendekatan politik yang ia sebut
“vertical coalitions” untuk menyoroti motivasi dan proses politik yang
mengiringi aspirasi pemekaran. Menurut Kimura, faktor koalisi/aliansi
politik vertikal antarberbagai jaringan memberikan pengaruh bagi
keberhasilan aspirasi pemekaran (Kimura 2006, 2007, 2010). Booth
(2011) di sisi lain, mengambil suatu pendekatan ekonomi dan sejarah
untuk menganalisis soal pemekaran. Ia berargumen bahwa aspirasi
pemekaran wilayah di era Reformasi merupakan reaksi dari pendekatan
sentralisitik-otokratis Orde Baru, yang juga reaksi atas kecenderungan
„federalisme“ di era 1960an (Booth 2011, 52). Pada dimensi objek kajian,
penelitian ini juga memiliki nilai lebih karena memfokuskan diri pada
upaya melakukan evaluasi kebijakan pemekaran. Sejauh ini upaya
evaluasi kebijakan pemekaran dikembangkan oleh lembaga-lembaga
bantuan dan pembangunan internasional, serta institusi pemerintahan.
Beberapa lembaga seperti Bappenas dan UNDP (2008), DRSP-USAID
(2009), dan Depdagri (2011) menghasilkan evaluasi atas pelaksanaan
kebijakan pemekaran di Indonesia. Indeks-indeks capaian yang mereka
susun dapat dijadikan rujukan untuk meninjau keberhasilan kebijakan.
Penelitian ini mencoba hadir untuk mengembangkan model evaluasi yang
merujuk pada indeks capaian sekaligus penelitian yang bersifat empiris.
Kontribusi kedua dari kajian ini adalah sifatnya yang empiris. Penelitian ini
tidak menawarkan pandangan “common sense,” ataupun sekedar
menyajikan “data sekunder” melalui hasil evaluasi yang lazim diambil dari
penilaian lembaga pemerintahan atau lembaga bantuan internasional. Tim
peneliti turun langsung ke lapangan, mengkonfirmasi indeks-indeks
evaluasi yang telah ada melalui informan yang mereka temui di lapangan,
mengadakan serangkaian pengumpulan data primer, dan melakukan
proses cross-check dan observasi di lapangan. Dengan demikian,
penelitian ini memiliki kelebihan dalam menyajikan narasi dan analisis
atas indeks-indeks keberhasilan atau kegagalan kebijakan pemekaran.
Ketiga, kontribusi yang paling nyata dari penelitian ini adalah kuatnya
muatan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan. Dengan mengajukan
pertanyaan penelitian mengenai evaluasi kebijakan pemekaran dan
potensi penggabungan daerah, penelitian ini menghasilkan rekomendasi
kebijakan agar pemerintah lebih serius untuk mengkaji ulang kebijakan
pemekaran. Rekomendasi ini bersumber dari evaluasi yang dilakukan oleh
tim peneliti secara proporsional. Kebijakan pemekaran dilihat dari sisi
positif maupun permasalahan yang masih membayanginya. Salah satu
temuan penting penelitian ini adalah konfirmasi tim peneliti bahwa
kebijakan pemekaran terbukti semakin mendekatkan rentang kendali
pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Penelitian ini
berhasil menyajikan data-data empiris peningkatan pelayanan publik,
mulai dari bertambahnya fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
di kedua wilayah yang menjadi pilihan kasus mereka. Tidak hanya itu,
pemekaran berhasil memperpendek pengurusan perizinan yang kerap
menjadi kendala untuk memacu perekonomian daerah.
Selain mendeskripsikan statistik dan narasi keberhasilan, penelitian ini
juga berhasil memotret permasalahan-permasalahan mendasar yang
berjalan beriringan dengan implementasi pemekaran. Permasalahan
mendasar seperti transfer aset dari daerah induk ke daerah otonom baru
(DOB), potensi konflik antar daerah, hingga masih belum optimalnya
kinerja DOB berhasil dikaji secara relatif mendalam. Permasalahan-
permasalahan mendasar ini yang kemudian menjadi dasar bagi tim
peneliti untuk mengajukan rekomendasi agar pemerintah pusat lebih
serius meninjau ulang kebijakan pemekaran dari hulu hingga hilir. Dari
hulu, pertimbangan pemerintah pusat untuk menyetujui usul pemekaran
(sebagaimana diatur melalui PP Nomor 78 Tahun 2007) harus melalui
pengujian yang lebih serius. Tidak hanya itu, “proses monitoring dan
evaluasi atas pelaksanaan pemekaran harus dilakukan secara teratur dan
komprehensif” guna mengukur keberhasilan atau kegagalan kebijakan
pemekaran. Evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat sejatinya sudah
dilakukan melalui berbagai mekanisme seperti EPPD, EKPPD, EKPOD, dan
EDOB yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Namun demikian,
upaya yang lebih berkala, teratur, dan komprehensif dalam evaluasi tetap
diperlukan, termasuk tindak lanjut jika DOB dinilai gagal. Namun
demikian, kontribusi penting penelitian ini terhadap kajian pemekaran dan
rekomendasi kebijakan masih diwarnai beberapa persoalan, baik ditinjau
dari sisi prosedur penelitian maupun substansi penelitian. Dari sisi
prosedur penelitian, kajian ini seharusnya dapat lebih memperhatikan
rancangan penelitian secara lebih ketat. Pertama, tim peneliti kurang
begitu memperhatikan penempatan kajian mereka dalam arah kajian
yang sudah dilakukan terkait dengan pemekaran, baik dalam studi
pemekaran di Indonesia maupun kajian pemekaran dari dimensi
komparasi. Hal ini sebagian bisa dipahami ketika penelitian ini lebih
bersifat “terapan” dan lebih kuat bermuatan rekomendasi kebijakan.
Artinya, formulasi permasalahan penelitian hanya mendiskusikan aspek
empiris dari permasalahan (real-worlds events) dan kurang memberi
bobot penilaian atas penelitian-penelitian sejenis yang sudah pernah
dilakukan (existing scholarly literature). Dampak yang paling dirasakan
dari model penyusunan rancangan riset seperti ini adalah absennya
penjelasan mengenai kekosongan (lacunae/ gap) yang hendak diisi, serta
penjelasan akan dimensi “kebaruan” atau inovasi penelitian jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (van Evera 1997, 100-101).
Kedua, kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dari penelitian ini adalah
absennya kerangka analisis yang solid untuk kemudian digunakan sebagai
landasan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Penelitian
ini menggunakan kerangka pemikiran yang terkesan normatif, baik ketika
merujuk pada konsep political equality Dahl maupun ketika
mendefinisikan rumusan otonomi daerah. Hemat saya, kedua rujukan itu
tidak terlalu banyak membantu peneliti dalam menjawab permasalahan
penelitian. Kerangka pemikiran bersifat normatif dan melebar ke diskusi
soal desentralisasi, padahal objek kajian seharusnya berfokus pada soal
pemekaran (regional proliferation) dan penggabungan (regional
amalgamation/ regional merger). Tentu saya sepakat bahwa pemekaran
tidak dapat dilepaskan dari kebijakan desentralisasi. Bahkan, Ferrazi
(2007) mengemukakan bahwa pemekaran adalah salah satu bentuk
desentralisasi yang lazim disebut sebagai territorial decentralization
(Ferrazi 2007 sebagaimana dikutip dalam Ratnawati 2010, 125, lihat juga
Prasojo 2011, 6). Namun demikian, kerangka analisis yang lebih relevan
dan terfokus diperlukan untuk membantu membedah permasalahan dan
pertanyaan penelitian yang diajukan. Jika pertanyaan penelitian menyasar
pada persoalan evaluasi atas keberhasilan/ kegagalan pemekaran, apa
alat ukurnya dan bagaimana digunakan? Demikian juga dengan
pertanyaan menyangkut potensi penggabungan daerah, apakah merujuk
pada konsep amalgamation atau merger ? (lihat Prasojo, 2011: 6-7).
Dua masalah awal dalam desain penelitian ini (penempatan penelitian
dalam kajian sejenis dan ketiadaan kerangka analisis yang solid),
menjadikan kajian lebih bersifat bersifat atheoretical/ deskriptif (George
and Bennet 2005, 75). Kendati demikian, setidaknya, deskripsi dalam
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dilakukannya studi-studi
lanjutan tentang pemekaran yang mengarah pada theory-building.
Saya memberikan beberapa catatan terkait dengan substansi penelitian.
Penelitian ini memberikan fokus pada persoalan evaluasi pembentukan
daerah baru dan melihat potensi penggabungan kembali daerah tersebut.
Untuk persoalan pertama, sumber interpretasi untuk menjadi dasar
penilaian bisa secara empiris didapatkan melalui data primer (misalnya
data kuantitatif peningkatan fasilitas pelayanan publik seperti sekolah,
puskesmas, dan infrastruktur) atau melalui data-data indeks kinerja
pemerintah daerah yang dihasilkan oleh Kemendagri. Hal ini berhasil
dilakukan oleh tim secara teliti dan cukup mendalam dalam menyajikan
data dan menganalisisnya. Sayangnya, data-data tersebut (terutama data
kuantitatif) kurang dilengkapi dengan dimensi perbandingan secara lebih
akurat antara capaian sebelum dan setelah pemekaran. Tim peneliti
hanya berfokus melihat data capaian setelah berlakunya pemekaran,
namun tidak memberi perhatian pada bagaimana data kondisi tersebut
terjadi di masa sebelum pemekaran di daerah yang kemudian menjadi
Kabupaten Sigi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jika yang menjadi
masalah adalah ketersediaan data sebelum pemekaran di wilayah-wilayah
yang dimekarkan, hal ini sedikit banyak bisa dimaklumi. Namun jika
absennya data pembanding sebagai akibat kekurangcermatan, tentunya
patut disayangkan. Jika perbandingan data tersebut berhasil disajikan,
tentu akan semakin menambah bobot evaluasi.
Untuk persoalan kedua yang menyinggung potensi peng-gabungan
daerah, nampaknya tinjauan atas hal ini akan jauh lebih berdasar jika tim
peneliti mampu memetakan profil daerah secara lebih komprehensif.
Pemetaan ini memang dilakukan oleh tim peneliti melalui penyajian
gambaran kondisi geografis dan ekonomi. Data ini tentunya sangat
bernilai untuk mengetahui kondisi wilayah pemekaran dan potensi
ekonomi yang mereka miliki. Namun profil wilayah ini akan jauh lebih
berkualitas jika bisa menampilkan potret politik dan sosial budaya yang
kerap menjadi titik tolak munculnya aspirasi pemekaran. Pembahasan
profil politik dan sosial budaya akan semakin menarik jika tim peneliti
mempresentrasikan latar belakang munculnya aspirasi pemekaran. Saya
memandang penting pemahaman mengenai asal muasal tuntutan
pemekaran di kedua daerah yang menjadi studi kasus. Gunanya untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang kemudian muncul dalam
pelaksanaan pemekaran. Beberapa studi menunjukkan bahwa motivasi
pemekaran lebih banyak diwarnai oleh aspek politik dan kepentingan elit
dibandingkan aspek administratif atau kebutuhan pemenuhan kebutuhan
pelayanan publik (Kimura, 2006; Prasojo, 2011:14; Booth, 2011). Tapi
lebih jauh dari itu, hal ini juga penting untuk menjelaskan seberapa besar
peluang atau potensi penggabungan kembali wilayah bisa dilakukan.
Sebuah karya akademis tentunya senantiasa diwarnai oleh kelebihan
maupun kekurangan. Penelitian ini telah secara serius membedah
persoalan pemekaran secara ilmiah dan sekaligus menawarkan
rekomendasi bagi perbaikan kebijakan. Suatu upaya penelitian lanjutan
nampaknya diperlukan untuk studi komprehensif mengenai kebijakan ini.
Studi-studi lanjutan tersebut bisa diarahkan untuk mengembangkan suatu
model evaluasi yang lebih solid dan juga mengkombinasikan metode
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Tujuan kajian ini tentunya diarahkan
untuk menjadi landasan perbaikan kebijakan pemekaran di masa datang.
Jika saja selama ini kebijakan pemekaran lebih didorong oleh motif politik,
kepentingan elit, serta “reaksi daerah” atas praktik sentralisme Orde Baru,
maka kebijakan ini harus didorong menjadi kebijakan yang diarahkan
pada pemenuhan pelayanan publik, sebagaimana yang menjadi harapan
kita bersama.