Pusat Penelitian

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kinerja, Info Judicial Review dan lainnya.

Indonesia Di Tengah Kebangkitan China, Jepang dan India

Penulis
No Author
Abstrak
Buku ini adalah sebuah Bunga Rampai yang disusun di saat rivalitas antara China, Jepang, dan India tengah menguat di tingkat global dan kawasan, dibayang-bayangi oleh peran yang gamang dari negara adidaya AS. Buku ini menganalisis realitas perkembangan politik, ekonomi, dan keamanan setelah berakhirnya Perang Dingin di beberapa mandala dunia, seperti Asia Tenggara dan Asia Timur, dan secara lebih spesifik di Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Berbagai perspektif yang digunakan diharapkan dapat menghadirkan pembaca dengan informasi dan pemahaman yang lebih lengkap dan kompehensif. Demikian pula, dengan data terkini dan detail yang disajikannya. Buku ini disusun dari hasil riset bersama para penulisnya dalam sebuah riset kepustakaan dan lapangan kelompok, yang dipimpin penyunting. Untuk dapat memberikan pengantar dan penjelasan yang baik ke arah pembahasan yang mendalam, penyunting telah memberikan kontribusi tulisannya, baik di bagian Prolog maupun Epilog buku ini. Hasil penelitian dan tulisan yang lebih mendalam diberikan oleh masing-masing penulis buku ini, sebagai bagian dari tim riset dalam rentang waktu sejak awal hngga akhir tahun 2016. Sudah tentu, penyunting dan masing-masing penulis buku ini menyadari keterbatasan informasi dan analisis yang mereka miliki dan lakukan, karena keterbatasan kesempatan yang mereka miliki dan kesulitan realistis yang mereka hadapi. Namun, seperti sebelumnya, biarlah semuanya ini kembali menjadi tanggung jawab profesional penyunting dan semua penulis atau kontributor buku ini. Misi utama buku ini sendiri adalah menyediakan informasi dan penjelasan yang komprehensif mengenai perkembangan realistis di tingkat global dan kawasan. Penyunting dan para penulis buku ini mengharapkan para pembacanya, tidak hanya khalayak secara umum, namun juga para intelektual pengambil keputusan dan pembuat kebijakan di tingkat nasional, dapat memahami betapa pentingnya perkembangan lingkungan stategis yang terjadi dan cepat berubah. Mereka juga diharapkan dapat lekas memahami implikasi kritis berbagai perkembangan dan perubahan itu terhadap nasib negara dan bangsa di masa depan, dalam jangka pendek dan panjang. Patut diakui, semula perhatian serius hanya diberikan pada eksistensi, pertumbuhan kinerja, dan rivalitas China dan Jepang. Tetapi kemudian, para periset dan sekaligus penulis buku ini menyadari India tidak dapat disepelekan, dan bahkan, diabaikan begitu saja kehadiran dan perkembangannya dewasa ini dan di masa depan, di tingkat global dan di berbagai kawasan. Sebagai konsekuensinya, riset dan analisis kemudian memasukkan faktor India sekaligus dalam satu bahasan yang tidak terpisahkan. Di parlemen, China sendiri dapat dikatakan sebagai negara dengan kepentingan yang tinggi dan begitu agresif dalam berbagai aktivitasnya berupaya memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik di sana, sebagaimana halnya yang telah diperlihatkan para aktor kebijakan negara tersebut di tingkat pemerintahan. Jepang tampak mulai ikut aktif dalam perkembangannya kemudian, agar tidak ketinggalan dari China. Sedangkan India bergerak belakangan dan tampak perlahan mengikuti kemampuan kondisi domestik untuk menopangnya dan kepentingan internasional yang harus dikejarnya. Indonesia jauh lebih lamban lagi bergerak, karena ia masih gamang menempatkan diri agar dapat memainkan posisinya secara tepat. Fokus bahasan dan tingkat kedalaman diskusi dan analisis memang berbeda dalam satu tulisan dengan tulisan lainnya. Karena, perisetnya diketahui, memiliki ketertarikan dan kepentingan pada obyek riset yang berbeda. Demikian halnya, tingkat keberagaman sumber data yang digunakan bisa juga berbeda. Namun, pada dasarnya, metodologi dan (sumber) data standar yang dipakai adalah sama. Memang diakui, di sisi lain, ada informan yang tidak terwawancarai. Ini disebabkan persoalan ketersediaan waktu wawancara yang tidak tepat atau bertabrakan. Isu kebangkitan Indonesia sebagai pendatang baru dalam kalangan pemain utama di tingkat global dan kawasan juga masih kontroversial, atau secara terus terang, ada yang meragukannya. Namun, terlepas dari kondisi ekonominya yang masih rentan gejolak akibat pengaruh perkembangan dalam dan luar negeri, Indonesia, seperti halnya India, tidak bisa disepelekan, apalagi diabaikan sama sekali, kehadiran dan perannya. Faktor-faktor geografis, seperti letaknya yang sangat strategis di posisi silang, di antara dua benua (di antara Benua Asia dan Australia) dan dua Samudra (Samudra Pasifik dan Hindia), luas wilayah, kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), serta faktor-faktor demokrafis, seperti jumlah penduduk (sebagai keempat terbanyak di dunia setelah China, India, dan AS), tingkat keberagaman dan toleransinya yang tinggi, telah membuat Indonesia dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonominya yang masih dinamis dan relatif tinggi (di atas 5 persen setiap tahun), sebagai negara yang harus diperhitungkan akan hadir sebagai kekuatan (besar) baru dalam dinamika tatanan rivalitas major powers yang ada dewasa ini. Masalahnya, tinggal bagaimana Pemerintah Indonesia dapat memimpin, mengelola, dan mengendalikan negeri ini dalam realitas dinamika yang berlangsung, sehingga ia tidak menjadi mandala perebutan kepentingan major powers, tetapi dapat menunjukkan eksistensi dan memainkan perannya sebagai faktor atau negara yang memang harus benar-benar diperhitungkan.
Evaluasi Terhadap Pemekaran dan Potensi Penggabungan Daerah (Studi Kabupaten Sigi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Penulis
No Author
Abstrak
Buku yang merupakan hasil penelitian dari Tim Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI ini mengulas secara empiris mengenai kebijakan pemekaran daerah di Indonesia. Penelitian ini mengajukan pertanyaan pokok mengenai bagaimana evaluasi atas pemekaran daerah serta melihat potensi penggabungan daerah. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, tim peneliti mengambil dua studi kasus daerah otonom baru yakni Kabupaten Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah yang dimekarkan pada tahun 2008 dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Provinsi Jambi yang dimekarkan pada tahun 1999. Buku ini memberikan kontribusi penting atas salah satu kebijakan yang lahir dalam rangka penataan struktur pemerintahan pasca Orde Baru, yaitu kebijakan pemekaran daerah. Terdapat setidaknya tiga kontribusi penting kajian ini: kontribusi yang memperkaya objek kajian pemekaran dan lebih khusus lagi pada dimensi evaluasi kebijakan, kontribusi yang berkaitan dengan sifat empiris studi ini, serta kontribusi berupa rekomendasi kebijakan. Pertama, kontribusi penting penelitian ini dapat dilihat dari sisi objek kajian yang diteliti. Penelitian ini menambah hasil penelitian empiris di wilayah kajian yang boleh dikatakan masih agak langka di Indonesia. Kajian pemekaran secara ilmiah masih terhitung jari jika dibandingkan dengan objek kajian serupa di wilayah kajian politik dan pemerintahan daerah. Studi-studi empiris lebih banyak dihasilkan untuk kebijakan desentralisasi, kajian mengenai pemilihan kepala daerah dan dinamikanya, persoalan korupsi politik di daerah yang menyertai kebijakan desentralisasi, dinamika elit lokal, oligarki dan patronase, perebutan sumber daya di daerah, hingga kajian-kajian yang terkait dengan bangkitnya identitas lokal pasca Orde Baru. Kendati kajian-kajian tersebut kadangkala dikaitkan dengan isu pemekaran, namun kerapkali pemekaran tidak dijadikan isu utama. Beberapa studi sebelumnya, mengambil beragam perspektif dalam kajian mengenai pemekaran. Ratnawati (2010) dan Prasojo (2011) misalnya, mengelaborasi isu pemekaran dari sisi kebijakan, lengkap dengan identifikasi mereka mengenai faktor pendorong, permasalahan, hingga tawaran solusi agar kebijakan pemekaran menjadi lebih baik. Melalui kajian mereka, persoalan-persoalan yang mengiringi implementasi kebijakan pemekaran telah diidentifikasi seperti soal transfer aset, ketidakjelasan batas wilayah, keterbatasan sumber daya manusia, hingga persoalan keterbatasan fasilitas birokrasi di daerah otonomi baru (Prasojo 2011). Ilmuwan lain seperti Kimura (2006, 2007,2010) menelisik isu pemekaran dengan menggunakan pendekatan politik yang ia sebut “vertical coalitions” untuk menyoroti motivasi dan proses politik yang mengiringi aspirasi pemekaran. Menurut Kimura, faktor koalisi/aliansi politik vertikal antarberbagai jaringan memberikan pengaruh bagi keberhasilan aspirasi pemekaran (Kimura 2006, 2007, 2010). Booth (2011) di sisi lain, mengambil suatu pendekatan ekonomi dan sejarah untuk menganalisis soal pemekaran. Ia berargumen bahwa aspirasi pemekaran wilayah di era Reformasi merupakan reaksi dari pendekatan sentralisitik-otokratis Orde Baru, yang juga reaksi atas kecenderungan „federalisme“ di era 1960an (Booth 2011, 52). Pada dimensi objek kajian, penelitian ini juga memiliki nilai lebih karena memfokuskan diri pada upaya melakukan evaluasi kebijakan pemekaran. Sejauh ini upaya evaluasi kebijakan pemekaran dikembangkan oleh lembaga-lembaga bantuan dan pembangunan internasional, serta institusi pemerintahan. Beberapa lembaga seperti Bappenas dan UNDP (2008), DRSP-USAID (2009), dan Depdagri (2011) menghasilkan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan pemekaran di Indonesia. Indeks-indeks capaian yang mereka susun dapat dijadikan rujukan untuk meninjau keberhasilan kebijakan. Penelitian ini mencoba hadir untuk mengembangkan model evaluasi yang merujuk pada indeks capaian sekaligus penelitian yang bersifat empiris. Kontribusi kedua dari kajian ini adalah sifatnya yang empiris. Penelitian ini tidak menawarkan pandangan “common sense,” ataupun sekedar menyajikan “data sekunder” melalui hasil evaluasi yang lazim diambil dari penilaian lembaga pemerintahan atau lembaga bantuan internasional. Tim peneliti turun langsung ke lapangan, mengkonfirmasi indeks-indeks evaluasi yang telah ada melalui informan yang mereka temui di lapangan, mengadakan serangkaian pengumpulan data primer, dan melakukan proses cross-check dan observasi di lapangan. Dengan demikian, penelitian ini memiliki kelebihan dalam menyajikan narasi dan analisis atas indeks-indeks keberhasilan atau kegagalan kebijakan pemekaran. Ketiga, kontribusi yang paling nyata dari penelitian ini adalah kuatnya muatan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan. Dengan mengajukan pertanyaan penelitian mengenai evaluasi kebijakan pemekaran dan potensi penggabungan daerah, penelitian ini menghasilkan rekomendasi kebijakan agar pemerintah lebih serius untuk mengkaji ulang kebijakan pemekaran. Rekomendasi ini bersumber dari evaluasi yang dilakukan oleh tim peneliti secara proporsional. Kebijakan pemekaran dilihat dari sisi positif maupun permasalahan yang masih membayanginya. Salah satu temuan penting penelitian ini adalah konfirmasi tim peneliti bahwa kebijakan pemekaran terbukti semakin mendekatkan rentang kendali pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Penelitian ini berhasil menyajikan data-data empiris peningkatan pelayanan publik, mulai dari bertambahnya fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di kedua wilayah yang menjadi pilihan kasus mereka. Tidak hanya itu, pemekaran berhasil memperpendek pengurusan perizinan yang kerap menjadi kendala untuk memacu perekonomian daerah. Selain mendeskripsikan statistik dan narasi keberhasilan, penelitian ini juga berhasil memotret permasalahan-permasalahan mendasar yang berjalan beriringan dengan implementasi pemekaran. Permasalahan mendasar seperti transfer aset dari daerah induk ke daerah otonom baru (DOB), potensi konflik antar daerah, hingga masih belum optimalnya kinerja DOB berhasil dikaji secara relatif mendalam. Permasalahan- permasalahan mendasar ini yang kemudian menjadi dasar bagi tim peneliti untuk mengajukan rekomendasi agar pemerintah pusat lebih serius meninjau ulang kebijakan pemekaran dari hulu hingga hilir. Dari hulu, pertimbangan pemerintah pusat untuk menyetujui usul pemekaran (sebagaimana diatur melalui PP Nomor 78 Tahun 2007) harus melalui pengujian yang lebih serius. Tidak hanya itu, “proses monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan pemekaran harus dilakukan secara teratur dan komprehensif” guna mengukur keberhasilan atau kegagalan kebijakan pemekaran. Evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat sejatinya sudah dilakukan melalui berbagai mekanisme seperti EPPD, EKPPD, EKPOD, dan EDOB yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Namun demikian, upaya yang lebih berkala, teratur, dan komprehensif dalam evaluasi tetap diperlukan, termasuk tindak lanjut jika DOB dinilai gagal. Namun demikian, kontribusi penting penelitian ini terhadap kajian pemekaran dan rekomendasi kebijakan masih diwarnai beberapa persoalan, baik ditinjau dari sisi prosedur penelitian maupun substansi penelitian. Dari sisi prosedur penelitian, kajian ini seharusnya dapat lebih memperhatikan rancangan penelitian secara lebih ketat. Pertama, tim peneliti kurang begitu memperhatikan penempatan kajian mereka dalam arah kajian yang sudah dilakukan terkait dengan pemekaran, baik dalam studi pemekaran di Indonesia maupun kajian pemekaran dari dimensi komparasi. Hal ini sebagian bisa dipahami ketika penelitian ini lebih bersifat “terapan” dan lebih kuat bermuatan rekomendasi kebijakan. Artinya, formulasi permasalahan penelitian hanya mendiskusikan aspek empiris dari permasalahan (real-worlds events) dan kurang memberi bobot penilaian atas penelitian-penelitian sejenis yang sudah pernah dilakukan (existing scholarly literature). Dampak yang paling dirasakan dari model penyusunan rancangan riset seperti ini adalah absennya penjelasan mengenai kekosongan (lacunae/ gap) yang hendak diisi, serta penjelasan akan dimensi “kebaruan” atau inovasi penelitian jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (van Evera 1997, 100-101). Kedua, kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dari penelitian ini adalah absennya kerangka analisis yang solid untuk kemudian digunakan sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran yang terkesan normatif, baik ketika merujuk pada konsep political equality Dahl maupun ketika mendefinisikan rumusan otonomi daerah. Hemat saya, kedua rujukan itu tidak terlalu banyak membantu peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian. Kerangka pemikiran bersifat normatif dan melebar ke diskusi soal desentralisasi, padahal objek kajian seharusnya berfokus pada soal pemekaran (regional proliferation) dan penggabungan (regional amalgamation/ regional merger). Tentu saya sepakat bahwa pemekaran tidak dapat dilepaskan dari kebijakan desentralisasi. Bahkan, Ferrazi (2007) mengemukakan bahwa pemekaran adalah salah satu bentuk desentralisasi yang lazim disebut sebagai territorial decentralization (Ferrazi 2007 sebagaimana dikutip dalam Ratnawati 2010, 125, lihat juga Prasojo 2011, 6). Namun demikian, kerangka analisis yang lebih relevan dan terfokus diperlukan untuk membantu membedah permasalahan dan pertanyaan penelitian yang diajukan. Jika pertanyaan penelitian menyasar pada persoalan evaluasi atas keberhasilan/ kegagalan pemekaran, apa alat ukurnya dan bagaimana digunakan? Demikian juga dengan pertanyaan menyangkut potensi penggabungan daerah, apakah merujuk pada konsep amalgamation atau merger ? (lihat Prasojo, 2011: 6-7). Dua masalah awal dalam desain penelitian ini (penempatan penelitian dalam kajian sejenis dan ketiadaan kerangka analisis yang solid), menjadikan kajian lebih bersifat bersifat atheoretical/ deskriptif (George and Bennet 2005, 75). Kendati demikian, setidaknya, deskripsi dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dilakukannya studi-studi lanjutan tentang pemekaran yang mengarah pada theory-building. Saya memberikan beberapa catatan terkait dengan substansi penelitian. Penelitian ini memberikan fokus pada persoalan evaluasi pembentukan daerah baru dan melihat potensi penggabungan kembali daerah tersebut. Untuk persoalan pertama, sumber interpretasi untuk menjadi dasar penilaian bisa secara empiris didapatkan melalui data primer (misalnya data kuantitatif peningkatan fasilitas pelayanan publik seperti sekolah, puskesmas, dan infrastruktur) atau melalui data-data indeks kinerja pemerintah daerah yang dihasilkan oleh Kemendagri. Hal ini berhasil dilakukan oleh tim secara teliti dan cukup mendalam dalam menyajikan data dan menganalisisnya. Sayangnya, data-data tersebut (terutama data kuantitatif) kurang dilengkapi dengan dimensi perbandingan secara lebih akurat antara capaian sebelum dan setelah pemekaran. Tim peneliti hanya berfokus melihat data capaian setelah berlakunya pemekaran, namun tidak memberi perhatian pada bagaimana data kondisi tersebut terjadi di masa sebelum pemekaran di daerah yang kemudian menjadi Kabupaten Sigi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jika yang menjadi masalah adalah ketersediaan data sebelum pemekaran di wilayah-wilayah yang dimekarkan, hal ini sedikit banyak bisa dimaklumi. Namun jika absennya data pembanding sebagai akibat kekurangcermatan, tentunya patut disayangkan. Jika perbandingan data tersebut berhasil disajikan, tentu akan semakin menambah bobot evaluasi. Untuk persoalan kedua yang menyinggung potensi peng-gabungan daerah, nampaknya tinjauan atas hal ini akan jauh lebih berdasar jika tim peneliti mampu memetakan profil daerah secara lebih komprehensif. Pemetaan ini memang dilakukan oleh tim peneliti melalui penyajian gambaran kondisi geografis dan ekonomi. Data ini tentunya sangat bernilai untuk mengetahui kondisi wilayah pemekaran dan potensi ekonomi yang mereka miliki. Namun profil wilayah ini akan jauh lebih berkualitas jika bisa menampilkan potret politik dan sosial budaya yang kerap menjadi titik tolak munculnya aspirasi pemekaran. Pembahasan profil politik dan sosial budaya akan semakin menarik jika tim peneliti mempresentrasikan latar belakang munculnya aspirasi pemekaran. Saya memandang penting pemahaman mengenai asal muasal tuntutan pemekaran di kedua daerah yang menjadi studi kasus. Gunanya untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang kemudian muncul dalam pelaksanaan pemekaran. Beberapa studi menunjukkan bahwa motivasi pemekaran lebih banyak diwarnai oleh aspek politik dan kepentingan elit dibandingkan aspek administratif atau kebutuhan pemenuhan kebutuhan pelayanan publik (Kimura, 2006; Prasojo, 2011:14; Booth, 2011). Tapi lebih jauh dari itu, hal ini juga penting untuk menjelaskan seberapa besar peluang atau potensi penggabungan kembali wilayah bisa dilakukan. Sebuah karya akademis tentunya senantiasa diwarnai oleh kelebihan maupun kekurangan. Penelitian ini telah secara serius membedah persoalan pemekaran secara ilmiah dan sekaligus menawarkan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan. Suatu upaya penelitian lanjutan nampaknya diperlukan untuk studi komprehensif mengenai kebijakan ini. Studi-studi lanjutan tersebut bisa diarahkan untuk mengembangkan suatu model evaluasi yang lebih solid dan juga mengkombinasikan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Tujuan kajian ini tentunya diarahkan untuk menjadi landasan perbaikan kebijakan pemekaran di masa datang. Jika saja selama ini kebijakan pemekaran lebih didorong oleh motif politik, kepentingan elit, serta “reaksi daerah” atas praktik sentralisme Orde Baru, maka kebijakan ini harus didorong menjadi kebijakan yang diarahkan pada pemenuhan pelayanan publik, sebagaimana yang menjadi harapan kita bersama.