Pusat Penelitian

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kinerja, Info Judicial Review dan lainnya.

Fasilitas Perdagangan Kesiapan Indonesia Menghadapi Persaingan Global

Penulis
No Author
Abstrak
Perjanjian Fasilitasi Perdagangan atau Trade Facilitation Agreement merupakan hasil kerja perundingan yang sangat panjang, yaitu hampir 10 tahun, dari para anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-9 di Bali tanggal 3 sampai 6 Desember 2013, Indonesia memainkan peran yang sangat penting sampai disepakatinya Paket Bali (Bali Package) yang mengandung tiga komponen pengaturan dalam bidang perdagangan global. Salah satu kesepakatan tersebut adalah fasilitasi perdagangan (FP). Dua isu lainnya yaitu tentang perdagangan pertanian yang mencakup pengelolaan stok pangan masyarakat untuk ketahanan pangan (public stockholding for food security), subsidi ekspor, akses pasar, dan masalah pembangunan untuk kepentingan khusus negara kurang berkembang seperti duty free-quota free dan kemudahan akses pasar. Menurut publikasi WTO, tujuan utama FP adalah untuk meningkatkan perdagangan global dengan memperlancar pergerakan, pengeluaran dan perizinan keluar-masuk barang (movement, release, and clearance of goods), termasuk yang berada dalam perjalanan (transit). Dengan ungkapan yang lebih umum, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjelaskan FP berupa upaya untuk mengatur kelancaran arus keluar-masuk barang di pelabuhan secara cepat, murah, dan mudah sehingga perdagangan internasional dapat semakin ditingkatkan dan terjadi pembentukan harga yang menguntungkan bagi konsumen. Apabila kondisi ideal perdagangan internasional dapat diwujudkan dengan penerapan FP, berdasarkan beberapa penelitian, WTO mengemukakan biaya perdagangan global akan turun sebesar 13,2 persen sampai 15,5 persen. Bagi rumah tangga konsumen hal ini berarti mereka dapat membeli berbagai barang dengan lebih banyak given pendapatan yang dipunyainya. Bagi dunia usaha atau produsen, penurunan biaya perdagangan tersebut dapat menurunkan biaya per unit barang sampai di pasar, yang berarti pula daya kompetisi barang di pasar internasional meningkat. Dari sini lantas akan muncul dampak positif berantai pada investasi, pencapaian lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. WTO lebih lanjut mengemukakan bahwa ekspor dari negaranegara berkembang diharapkan tumbuh antara 13,8 persen sampai 22,3 persen dengan jenis barang yang diperdagangkan lebih beragam. Semua pihak yang terlibat dalam perundingan tersebut mengharapkan dampak positif yang demikian, namun tentu saja, kondisi itu dapat dicapai dalam kondisi ideal. Karena itu, tidak semua optimis menyambut FP ini, bahkan ada beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menilai perjanjian FP merupakan suatu kesepakatan yang hanya akan menguntungkan negara-negara maju dan merugikan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Manfaat optimum dari suatu kerja sama hanya akan tersebar secara adil kepada para pihak yang terlibat apabila semua peserta memiliki kapasitas yang sepadan untuk memanfaatkan kesepakatan tersebut. Dalil umum ini berlaku juga untuk perjanjian FP. Sehubungan dengan itu, pertanyaannya apakah negara-negara berkembang sudah memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pelaksanaan perjanjian FP? Sudah mampukah sumber daya manusia (SDM) di negara-negara berkembang secara konsisten menerapkan aturan dan prosedur dalam kerangka FP? Dari manakah sumber pendanaan untuk investasi infrastruktur dan pengembangan SDM guna mengimplementasikan FP? Lebih spesifik lagi, sudah siapkah Indonesia mengimplementasikan dan mengambil manfaat dari penerapan FP? Sambil terus berbenah diri untuk mengimplementasikan perjanjian FP, pertanyaanpertanyaan di atas patut didalami dan diambil langkah-langkah nyata agar Indonesia dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari FP sesuai dengan yang dirancang dan diharapkan oleh para perundingnya. Perjanjian FP ini akan mulai efektif berlaku (enter into force) manakala dua pertiga dari anggota WTO meratifikasi Protocol of Amendment dan menotifikasi kepada WTO tentang ratifikasi tersebut. Proses notifikasi mulai dibuka pada tanggal 27 November 2014. Sebagai salah satu anggota WTO dan juga tuan rumah lahirnya perjanjian ini, FP bagi Indonesia merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan pertumbuhan ekspor dengan meningkatkan aliran dan volume perdagangan internasional yang selama ini belum terjangkau dengan baik, seperti kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Bersamaan dengan itu, para produsen dalam negeri baik yang memproduksi barang untuk pasar ekspor atau untuk pasar domestik, dihadapkan pada situasi untuk meningkatkan efisiensi usaha dan perbaikan proses produksi secara terus-menerus sehingga produknya memiliki daya saing yang kuat dibandingkan produk substitusinya dari luar. Buku “FASILITASI PERDAGANGAN, Kesiapan Indonesia Menghadapi Persaingan Global” ini mengupas langkah-langkah antisipatif dalam bentuk kebijakan dan implementasinya, baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah untuk meraih manfaat optimal dari instrumen FP tersebut bagi peningkatan dan perluasan pasar ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional. Buku ini terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian Kesatu “Fasilitasi Perdagangan dan Instrumen Pendukung” dan Bagian Kedua “Kesiapan Pemerintah Daerah dan Industri Manufaktur dalam Era Fasilitasi Perdagangan”. Lima tulisan yang disajikan dalam buku ini seperti diulas ringkas di atas merupakan hasil karya para peneliti pada Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR-RI. Kesemua tulisan tersebut mengandung informasi yang cukup memadai mengenai isu perjanjian FP dari WTO, dukungan yang diperlukan untuk dapat meraih manfaat dari FP tersebut, dan kesiapan Indonesia saat ini untuk mengimplementasikan dan meraih manfaat optimal dari FP untuk pertumbuhan ekspor dan ekonomi nasional serta daerah.
Membangun Investasi Daerah

Penulis
No Author
Abstrak
Dalam era globalisasi saat ini, arus modal dapat dengan mudah berpindah dari suatu negara ke negara lainnya. Bagi negara berkembang seperti Indonesia arus modal tersebut merupakan salah satu sumber pendanaan dalam pembangunan. Untuk itu, setiap negara berkembang, termasuk Indonesia, dituntut untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam rangka untuk menarik investasi. Kondisi kemudahan berusaha di Indonesia, yang saat ini menduduki rangking 109 menurut Bank Dunia, menjadi peringatan yang keras agar Indonesia berbenah untuk memperbaiki permasalahan tersebut. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi masuknya investasi, khususnya penanaman modal asing (PMA). Pemerintah saat ini telah melakukan berbagai upaya baik melalui perubahan peraturan perundang-undangan maupun paket kebijakan agar dapat mendorong investasi masuk ke Indonesia. Bahkan pemerintah telah menargetkan kemudahan berusaha di Indonesia menduduki setidaknya rangking 40 pada tahun 2017. Namun demikian usaha memperbaiki kemudahan berusaha tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga perlu dukungan dari pemerintahan daerah. Dalam konteks potensi ekonomi daerah, kebijakan desentralisasi fiskal merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi ekonomi publik sehingga berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Daerah harus memiliki sumber-sumber pendapatannya sendiri karena salah satu indikator untuk melihat keadaan otonomi suatu daerah terletak pada besar kecilnya kontribusi daerah tersebut dalam PAD. Daerah selain harus memikirkan peningkatan PAD untuk pembiayaan belanja daerahnya sendiri juga harus memikirkan bagaimana meningkatkan investasi daerahnya untuk mendorong pemerintah. Adanya pemahaman yang komprehensif tentang investasi daerah, diharapkan dapat dirumuskan suatu perspektif kebijakan yang holistik dan integratif dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif di masa yang akan datang. Dengan demikian setiap daerah mampu bersaing dalam menarik investasi bagi pembangunan ekonomi daerah tersebut.