Inflasi merupakan salah satu masalah yang dapat mengganggu
keberlanjutan perekonomian suatu negara. Indonesia telah beberapa kali
menghadapi masalah inflasi dan nyaris membangkrutkan perekonomian
nasional. Pengalaman inflasi buruk dimaksud yakni pada saat Indonesia
mengalami empat krisis. Pertama, inflasi sebagai akibat krisis ekonomi
yang terjadi pada pertengahan tahun 1960. Tepatnya pada tahun 1964
yang mencapai angka 135 persen, kemudian meningkat lebih parah lagi
mencapai hampir 600 persen tahun 1965. Kedua, inflasi sebagai akibat
krisis ekonomi pasca era bom minyak bumi tahun 1982. Ketiga, inflasi
yang terjadi sebagai akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998.
Keempat, inflasi sebagai akibat bangkrutnya institusi keuangan global
Lehman Brothers pada tahun 2008 atau yang dikenal dengan Global
Financial Crisis (Baca Thee Kian Wie, 2010).
Akibat dari inflasi tersebut, pertumbuhan ekonomi nasional yang tadinya
mencapai rata-rata 7 persen per tahun, misalnya, pada era Orde Baru
(1970-1996) menurun tajam menjadi minus 13 persen pada tahun 1998.
Demikian pula dengan inflasi yang terjadi sebagai akibat krisis keuangan
global yang menurunkan pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 6 persen
sejak periode 2004-2007 menurun menjadi dibawah 5 persen. Hal inilah
yang menyebabkan pemerintah memiliki perhatian besar terhadap inflasi.
Paling tidak terdapat 4 faktor penyebab inflasi. Pertama, cost push
inflation yakni inflasi yang disebabkan naiknya harga barang dan jasa
yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, demand pull inflation
yakni inflasi yang disebabkan naiknya satu, kombinasi atau seluruh
variabel dalam aggregate demand (konsumsi, investasi, pengeluaran
pemerintah, net ekspor) melebihi aggregate supply. Ketiga, inflasi yang
disebabkan oleh adanya ekspektasi masyarakat dan/atau pelaku ekonomi
terhadap kemungkinan adanya kenaikan harga-harga barang dan jasa
secara umum dalam perioed tertentu (Expected Inflation). Keempat,
inflasi yang disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dan atau kenaikan
harga barang barang impor (Import Inflation).
Perhatian pemerintah terhadap inflasi dengan segala masalahnya tersebut
sejak era reformasi dan desentralisasi tidak lagi menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat dan Bank Indonesia saja. Pemerintah dan Bank
Indonesia kini telah membentuk Tim Pemantauan dan Pengendali Inflasi
(TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian
dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendali Inflasi di level daerah
(TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan
peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada bukan Juli 2011
dibentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan
dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID.
Keanggotaan Pokjanas TPID ini adalah Bank Indonesia, Kemenko
Prekonomian dan Kementerian Dalam Negeri (Bank Indonesia, 2015).
Namun sayangnya studi yang mengungkapkan dan membahas secara
komprehensif inflasi dengan segala masalahnya di daerah belum banyak
dilakukan terutama setelah kebijakan pengendalian inflasi di daerah
ditetapkan. Jika pun kajian atau studi tersebut tersedia, pembahasan dan
analisis serta penulisan dari masalah inflasi di daerah masih terbatas pada
aspek-aspek tertentu dan atau ditulis secara parsial. Akibatnya,
pemahaman tentang strategi dan kebijakan pengendalian inflasi di daerah
menjadi tidak utuh dan tajam. Bertolak dari terbatasnya data dan
informasi menyangkut inflasi di daerah dengan segala masalahnya, maka
penulisan buku ini dirasakan perlu. Diharapkan dengan adanya buku ini,
tidak saja berbagai persoalan menyangkut inflasi khususnya di daerah
tidak saja dapat dipahami, melainkan juga yang terpenting dapat di atasi
oleh pemerintah daerah, Bank Indonesia, dan Pemerintah serta pihak
yang berkepentingan lainnya.
Secara lebih spesifik buku ini bertujuan mendiskusikan dan membahas
empat (4) isu terkait inflasi. Keempat isu dimaksud adalah sebagai
berikut. Pertama, menyangkut strategi kebijakan pengelolaan dan
forecasting inflasi di daerah. Kedua, berkaitan dengan Stabilisasi Harga
Pangan Dalam Rangka Mengendalikan Inflasi. Ketiga, isu terkait
pengendalian inflasi daerah dan desentralisasi fiskal. Keempat,
menyangkut kebijakan dan peran pemerintah daerah dalam mengurangi
inflasi.
Dalam pembahasan keempat isu di atas, hasil penelitian lapangan di
provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Papua Barat dijadikan rujukan
dalam penulisan buku ini. Diplihnya provinsi D.I. Yogyakarta, karena
provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang berhasil mengelola
inflasinya dengan cukup baik. Sedangkan dipilihnya provinsi Papua Barat
antara lain disebabkan wilayah tersebut sulit dijangkau yang
mengakibatkan adanya kendala dari sisi supply.
Seperti dijelaskan, inflasi atau inflation dapat diartikan sebagai kenaikan
dari harga yang terjadi secara terus menerus, memengaruhi individu,
pengusaha dan pemerintah dimana meningkatnya harga-harga tersebut
terjadi secara umum. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja
tidak
dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau
mengakibatkan
kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut
deflasi. Inflasi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses
ketidakseimbangan (disequilibrium) yang mana tingkat harga yang terus
menerus mengalami peningkatan selama periode tertentu.
Kenaikan harga-harga yang menjadi penyebab terjadinya inflasi dapat
diklasifikasikan dan jika harga-harga naik secara perlahan-lahan maka
inflasi yang terjadi disebut sebagai “Creeping Inflation”. Jika harga-harga
meningkatnya secara cepat maka kondisi tersebut disebut sebagai
“Hyperinflation” atau inflasi yang melebihi 50 persen per bulan atau lebih
dari 1 persen per hari.
Inflasi secara umum menggunakan indikator yang disebut dengan istilah
Consumen Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK).
Perubahan IHK ini menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan
jasa yang dikonsumsi masyarakat. Di Indonesia, IHK ini diperoleh melalui
survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Biasanya BPS
memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara
bulanan di beberapa kota baik pasar tradisional maupun modern.
Selain IHK, indikator lainnya yang dapat digunakan untuk
menggambarkan inflasi berdasarkan International Best Practice adalah
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan Deflator Produk Domestik
Bruto (PDB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas adalah
harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama
dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada
pasar pertama atas suatu komoditas. Sedangkan Deflator PDB
menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan
jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB
dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB
atas dasar harga konstan. Selain IHK, IHPB dan Deflator PDB, inflasi juga
dapat diukur menggunakan indikator Indeks Biaya Hidup (IBH). IBH
adalah biaya untuk memperoleh tingkat utilitas yang ada pada harga
yang
berlaku sekarang relatif terhadap biaya untuk memperoleh utilitas yang
sama pada harga tahun dasar. Dari indikator-indikator inflasi tersebut,
masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan, serta sangat
tergantung pada tujuan pemakaiannya.
Bila dimaksudkan untuk penetapan upah buruh riil, lebih tepat digunakan
IBH atau IHK, sedangkan bila dimaksudkan untuk pembuatan kontrak-
kontrak kerja dan penyesuaian harga bagi kontrak yang dilakukan
kontraktor besar, biasanya digunakan IHPB. Deflator PDB, cakupannya
lebih luas dibandingkan indikator-indikator inflasi lainnya, sebenarnya
mencerminkan perkembangan tingkat harga umum.
Berdasarkan The Classification of Individual Consumption by Purpose atau
COICOP, inflasi dapat dikelompokan ke dalam 7 (tujuh) kelompok
pengeluaran yaitu kelompok bahan makanan; kelompok makanan jadi,
minuman dan tembakau; kelompok perumahan; kelompok sandang,
kelompok kesehatan; kelompok pendidikan dan olah raga; dan kelompok
transportasi dan komunikasi.
Saat ini BPS juga sudah mengkelompokkan inflasi yang dikenal dengan
nama disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi ini untuk menghasilkan suatu
indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang
bersifat fundamental. Disagregasi inflasi di Indonesia dikelompokkan
menjadi inflasi inti dan inflasi non inti. Inflasi inti yaitu komponen inflasi
yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam
pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti
interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal: nilai tukar, harga
komoditi internasional, inflasi mitra dagang, dan ekspektasi Inflasi dari
pedagang dan konsumen. Inflasi non inti yaitu komponen inflasi yang
cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor
fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari:
a. Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food)
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok
bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor
perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun
perkembangan harga komoditas pangan internasional.
b. Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices)
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan
harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif
angkutan, dan lain-lain.
Kenaikan harga-harga barang dan jasa yang tinggi dan terus menerus
tidak hanya menimbulkan beberapa efek negatif terhadap kegiatan
ekonomi, tetapi juga tingkat kesejahteraan individu dan masyarakat.
Tingkat inflasi yang tinggi pastinya tidak akan menggalakkan
perkembangan ekonomi suatu negara. Biaya yang terus menerus naik
menyebabkan kegiatan produktif menjadi tidak menguntungkan.
Akibatnya pemilik modal lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan
spekulasi. Antara lain membeli harta-harta tetap seperti tanah, rumah
dan
bangunan. Akibatnya investasi produktif akan berkurang dan tingkat
kegiatan ekonomi akan menurun. Dampak akhirnya adalah tingkat
pengangguran dan kemiskinan akan meningkat.
Di samping menimbulkan efek negatif terhadap kegiatan ekonomi
nasional, inflasi juga akan menimbulkan efek-efek negatif terhadap
individu dan masyarakat, seperti: nflasi akan menurunkan pendapatan riil
orang-orang yang berpendapatan tetap
Pada umumnya kenaikan upah tidaklah secepat kenaikan harga-harga.
Ketika terjadi inflasi maka inflasi akan menurunkan upah riil individu-
individu yang berpendapatan tetap.
2. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang
Sebagian kekayaan masyarakat disimpan dalam bentuk uang. Simpanan
di bank, simpanan tunai, dan simpanan dalam institusi-institusi keuangan
lain merupakan simpanan keuangan. Nilai riilnya akan menurun apabila
terjadi kenaikan inflasi.
3. Memperburuk pembagian kekayaan
Telah ditunjukkan bahwa penerima pendapatan tetap akan menghadapi
kemerosotan dalam nilai riil pendapatannya, dan pemilik kekayaan
bersifat keuangan mengalami penurunan dalam nilai riil kekayaannya.
Akan tetapi pemilik harta-harta tetap seperti tanah, bangunan dan rumah
dapat mempertahankan atau menambah nilai riil kekayaannya. Juga
sebagian penjual/pedagang dapat mempertahankan nilai riil
pendapatannya. Dengan demikian inflasi menyebabkan pembagian
pendapatan di antara golongan berpendapatan tetap dengan pemilik-
pemilik harta tetap dan penjual/pedagang akan menjadi semakin tidak
merata.
Sistimatika penulisan buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian kesatu
mengungkapkan upaya stabilisasi Harga Pangan Dalam Rangka
Mengendalikan Inflasi. Beberapa hal yang dibahas adalah karateristik
komoditas pangan dan kebijakan pengendalian harga komoditas pangan
dan pengendalian inflasi. Bagian kedua mendiskusikan dan membahas
kebijakan dan peran pemerintah daerah dalam mengurangi inflasi.
Adapun kebijakan yang dibahas dalam bagian ini yakni kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi serta peran Tim
pengendali Inflasi Daerah dengan segala masalahnya. Kemudian Bagian
ketiga didiskusikan pengendalian inflasi daerah dan desentralisasi fiskal.
Adapun yang dibahas meliputi perkembangan inflasi dan determinannya,
program pengendalian inflasi, dan peran desentralisasi fiskal terhadap
pengendalian inflasi. Terakhir, Bagian keempat membahas tentang
strategi kebijakan pengelolaan dan forecasting inflasi. Dalam bagian ini
dibahas antara lain tentang faktor determinasi inflasi, perkembangan
inflasi, strategi inflasi dan bagaimana melalukan forecasting.