Pusat Penelitian

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kinerja, Info Judicial Review dan lainnya.

Dinamika Pelaksanaan Urusan di Bidang Persandian Pemerintah Daerah

Penulis
No Author
Abstrak
Kajian dan pembahasan tentang penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang persandian masih tergolong langka, terutama dengan menggunakan sudut pandang otonomi daerah. Buku ini merupakan langkah yang tepat untuk memperkenalkan penyelenggaraan urusan persandian di daerah dan sekaligus mengungkap serta mengkritisi manfaat dan masalah yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi pemberian otonomi kepada daerah dalam mengelola urusan pemerintahan bidang persandian.
Perkembangan Inflasi dan Peran Pemerintah Daerah

Penulis
No Author
Abstrak
Inflasi merupakan salah satu masalah yang dapat mengganggu keberlanjutan perekonomian suatu negara. Indonesia telah beberapa kali menghadapi masalah inflasi dan nyaris membangkrutkan perekonomian nasional. Pengalaman inflasi buruk dimaksud yakni pada saat Indonesia mengalami empat krisis. Pertama, inflasi sebagai akibat krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1960. Tepatnya pada tahun 1964 yang mencapai angka 135 persen, kemudian meningkat lebih parah lagi mencapai hampir 600 persen tahun 1965. Kedua, inflasi sebagai akibat krisis ekonomi pasca era bom minyak bumi tahun 1982. Ketiga, inflasi yang terjadi sebagai akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998. Keempat, inflasi sebagai akibat bangkrutnya institusi keuangan global Lehman Brothers pada tahun 2008 atau yang dikenal dengan Global Financial Crisis (Baca Thee Kian Wie, 2010). Akibat dari inflasi tersebut, pertumbuhan ekonomi nasional yang tadinya mencapai rata-rata 7 persen per tahun, misalnya, pada era Orde Baru (1970-1996) menurun tajam menjadi minus 13 persen pada tahun 1998. Demikian pula dengan inflasi yang terjadi sebagai akibat krisis keuangan global yang menurunkan pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 6 persen sejak periode 2004-2007 menurun menjadi dibawah 5 persen. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah memiliki perhatian besar terhadap inflasi. Paling tidak terdapat 4 faktor penyebab inflasi. Pertama, cost push inflation yakni inflasi yang disebabkan naiknya harga barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, demand pull inflation yakni inflasi yang disebabkan naiknya satu, kombinasi atau seluruh variabel dalam aggregate demand (konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, net ekspor) melebihi aggregate supply. Ketiga, inflasi yang disebabkan oleh adanya ekspektasi masyarakat dan/atau pelaku ekonomi terhadap kemungkinan adanya kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum dalam perioed tertentu (Expected Inflation). Keempat, inflasi yang disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dan atau kenaikan harga barang barang impor (Import Inflation). Perhatian pemerintah terhadap inflasi dengan segala masalahnya tersebut sejak era reformasi dan desentralisasi tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan Bank Indonesia saja. Pemerintah dan Bank Indonesia kini telah membentuk Tim Pemantauan dan Pengendali Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendali Inflasi di level daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada bukan Juli 2011 dibentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID ini adalah Bank Indonesia, Kemenko Prekonomian dan Kementerian Dalam Negeri (Bank Indonesia, 2015). Namun sayangnya studi yang mengungkapkan dan membahas secara komprehensif inflasi dengan segala masalahnya di daerah belum banyak dilakukan terutama setelah kebijakan pengendalian inflasi di daerah ditetapkan. Jika pun kajian atau studi tersebut tersedia, pembahasan dan analisis serta penulisan dari masalah inflasi di daerah masih terbatas pada aspek-aspek tertentu dan atau ditulis secara parsial. Akibatnya, pemahaman tentang strategi dan kebijakan pengendalian inflasi di daerah menjadi tidak utuh dan tajam. Bertolak dari terbatasnya data dan informasi menyangkut inflasi di daerah dengan segala masalahnya, maka penulisan buku ini dirasakan perlu. Diharapkan dengan adanya buku ini, tidak saja berbagai persoalan menyangkut inflasi khususnya di daerah tidak saja dapat dipahami, melainkan juga yang terpenting dapat di atasi oleh pemerintah daerah, Bank Indonesia, dan Pemerintah serta pihak yang berkepentingan lainnya. Secara lebih spesifik buku ini bertujuan mendiskusikan dan membahas empat (4) isu terkait inflasi. Keempat isu dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, menyangkut strategi kebijakan pengelolaan dan forecasting inflasi di daerah. Kedua, berkaitan dengan Stabilisasi Harga Pangan Dalam Rangka Mengendalikan Inflasi. Ketiga, isu terkait pengendalian inflasi daerah dan desentralisasi fiskal. Keempat, menyangkut kebijakan dan peran pemerintah daerah dalam mengurangi inflasi. Dalam pembahasan keempat isu di atas, hasil penelitian lapangan di provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Papua Barat dijadikan rujukan dalam penulisan buku ini. Diplihnya provinsi D.I. Yogyakarta, karena provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang berhasil mengelola inflasinya dengan cukup baik. Sedangkan dipilihnya provinsi Papua Barat antara lain disebabkan wilayah tersebut sulit dijangkau yang mengakibatkan adanya kendala dari sisi supply. Seperti dijelaskan, inflasi atau inflation dapat diartikan sebagai kenaikan dari harga yang terjadi secara terus menerus, memengaruhi individu, pengusaha dan pemerintah dimana meningkatnya harga-harga tersebut terjadi secara umum. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Inflasi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses ketidakseimbangan (disequilibrium) yang mana tingkat harga yang terus menerus mengalami peningkatan selama periode tertentu. Kenaikan harga-harga yang menjadi penyebab terjadinya inflasi dapat diklasifikasikan dan jika harga-harga naik secara perlahan-lahan maka inflasi yang terjadi disebut sebagai “Creeping Inflation”. Jika harga-harga meningkatnya secara cepat maka kondisi tersebut disebut sebagai “Hyperinflation” atau inflasi yang melebihi 50 persen per bulan atau lebih dari 1 persen per hari. Inflasi secara umum menggunakan indikator yang disebut dengan istilah Consumen Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK ini menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Di Indonesia, IHK ini diperoleh melalui survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Biasanya BPS memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota baik pasar tradisional maupun modern. Selain IHK, indikator lainnya yang dapat digunakan untuk menggambarkan inflasi berdasarkan International Best Practice adalah Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan Deflator Produk Domestik Bruto (PDB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas adalah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. Sedangkan Deflator PDB menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan. Selain IHK, IHPB dan Deflator PDB, inflasi juga dapat diukur menggunakan indikator Indeks Biaya Hidup (IBH). IBH adalah biaya untuk memperoleh tingkat utilitas yang ada pada harga yang berlaku sekarang relatif terhadap biaya untuk memperoleh utilitas yang sama pada harga tahun dasar. Dari indikator-indikator inflasi tersebut, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan, serta sangat tergantung pada tujuan pemakaiannya. Bila dimaksudkan untuk penetapan upah buruh riil, lebih tepat digunakan IBH atau IHK, sedangkan bila dimaksudkan untuk pembuatan kontrak- kontrak kerja dan penyesuaian harga bagi kontrak yang dilakukan kontraktor besar, biasanya digunakan IHPB. Deflator PDB, cakupannya lebih luas dibandingkan indikator-indikator inflasi lainnya, sebenarnya mencerminkan perkembangan tingkat harga umum. Berdasarkan The Classification of Individual Consumption by Purpose atau COICOP, inflasi dapat dikelompokan ke dalam 7 (tujuh) kelompok pengeluaran yaitu kelompok bahan makanan; kelompok makanan jadi, minuman dan tembakau; kelompok perumahan; kelompok sandang, kelompok kesehatan; kelompok pendidikan dan olah raga; dan kelompok transportasi dan komunikasi. Saat ini BPS juga sudah mengkelompokkan inflasi yang dikenal dengan nama disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi ini untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental. Disagregasi inflasi di Indonesia dikelompokkan menjadi inflasi inti dan inflasi non inti. Inflasi inti yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang, dan ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen. Inflasi non inti yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari: a. Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional. b. Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan lain-lain. Kenaikan harga-harga barang dan jasa yang tinggi dan terus menerus tidak hanya menimbulkan beberapa efek negatif terhadap kegiatan ekonomi, tetapi juga tingkat kesejahteraan individu dan masyarakat. Tingkat inflasi yang tinggi pastinya tidak akan menggalakkan perkembangan ekonomi suatu negara. Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif menjadi tidak menguntungkan. Akibatnya pemilik modal lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Antara lain membeli harta-harta tetap seperti tanah, rumah dan bangunan. Akibatnya investasi produktif akan berkurang dan tingkat kegiatan ekonomi akan menurun. Dampak akhirnya adalah tingkat pengangguran dan kemiskinan akan meningkat. Di samping menimbulkan efek negatif terhadap kegiatan ekonomi nasional, inflasi juga akan menimbulkan efek-efek negatif terhadap individu dan masyarakat, seperti: nflasi akan menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap Pada umumnya kenaikan upah tidaklah secepat kenaikan harga-harga. Ketika terjadi inflasi maka inflasi akan menurunkan upah riil individu- individu yang berpendapatan tetap. 2. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang Sebagian kekayaan masyarakat disimpan dalam bentuk uang. Simpanan di bank, simpanan tunai, dan simpanan dalam institusi-institusi keuangan lain merupakan simpanan keuangan. Nilai riilnya akan menurun apabila terjadi kenaikan inflasi. 3. Memperburuk pembagian kekayaan Telah ditunjukkan bahwa penerima pendapatan tetap akan menghadapi kemerosotan dalam nilai riil pendapatannya, dan pemilik kekayaan bersifat keuangan mengalami penurunan dalam nilai riil kekayaannya. Akan tetapi pemilik harta-harta tetap seperti tanah, bangunan dan rumah dapat mempertahankan atau menambah nilai riil kekayaannya. Juga sebagian penjual/pedagang dapat mempertahankan nilai riil pendapatannya. Dengan demikian inflasi menyebabkan pembagian pendapatan di antara golongan berpendapatan tetap dengan pemilik- pemilik harta tetap dan penjual/pedagang akan menjadi semakin tidak merata. Sistimatika penulisan buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian kesatu mengungkapkan upaya stabilisasi Harga Pangan Dalam Rangka Mengendalikan Inflasi. Beberapa hal yang dibahas adalah karateristik komoditas pangan dan kebijakan pengendalian harga komoditas pangan dan pengendalian inflasi. Bagian kedua mendiskusikan dan membahas kebijakan dan peran pemerintah daerah dalam mengurangi inflasi. Adapun kebijakan yang dibahas dalam bagian ini yakni kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi serta peran Tim pengendali Inflasi Daerah dengan segala masalahnya. Kemudian Bagian ketiga didiskusikan pengendalian inflasi daerah dan desentralisasi fiskal. Adapun yang dibahas meliputi perkembangan inflasi dan determinannya, program pengendalian inflasi, dan peran desentralisasi fiskal terhadap pengendalian inflasi. Terakhir, Bagian keempat membahas tentang strategi kebijakan pengelolaan dan forecasting inflasi. Dalam bagian ini dibahas antara lain tentang faktor determinasi inflasi, perkembangan inflasi, strategi inflasi dan bagaimana melalukan forecasting.