Kata “maritim” dikenal kembali di Indonesia sejak kampanye
presiden pada pemilihan umum 2014. Secara khusus, pasangan
presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla (atau Jokowi-
JK) mengusung Poros Maritim Dunia. Konsep ini berawal dari sebuah
gagasan politik atau election manifesto, kemudian dikembangkan
menjadi kebijakan nasional yang strategis untuk membangun sektor
maritim dikaitkan dengan beberapa aspek, terutama ekonomi,
pembangunan, pariwisata, dan industri.
Dalam kurun waktu sekitar empat tahun sejak Kabinet
Kerja dimulai pada 2014, Pemerintah Indonesia sedang berupaya
merealisasikan visi Kelautan Indonesia untuk mewujudkan Indonesia
menjadi Poros Maritim Dunia dengan mengeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 16 Tahun 2017. Kebijakan Kelautan Indonesia
menetapkan tujuh pilar yang terdiri dari (1) pengelolaan sumber
daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), (2)
pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut,
(3) tata kelola dan kelembangaan laut, (4) ekonomi dan infrastruktur
kelautan dan peningkatan kesejahteraan, (5) pengelolaan ruang laut
dan perlindungan lingkungan laut, (6) budaya bahari, (7) diplomasi
maritim.
Implementasi kebijakan kelautan nasional dalam arti
kemajuan dan kekurangannya menjadi fokus kajian tim peneliti
dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI pada tahun 2018.
Analisis mengenai konsep Poros Maritim Dunia dihubungkan dengan
pembangunan infrastruktur konektivitas di wilayah timur Indonesia,
khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Konektivitas
maritim Indonesia dianalisis juga dalam konteks regional ASEAN,
beserta tantangan dalam strategi diplomasi maritim Indonesia. Secara
umum tim peneliti meninjau ulang pengembangan konsep Poros
Maritim Dunia dalam konteks nasional, regional, dan internasional.
Bagaimana kondisi maritim Indonesia di antara kontestasi
kekuatankekuatan
besar, terutama di antara kontestasi Amerika Serikat (AS)
dan Tiongkok (RRT)?