Pusat Penelitian

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kinerja, Info Judicial Review dan lainnya.

Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan dan Energi : Kasus Panas Bumi dan Batu Bara

Penulis
No Author
Abstrak
Kontribusi sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) cukup besar bagi perekonomian nasional. Melalui kinerja sektor ini masyarakat banyak antara lain dimudahkan mobilitasnya ke berbagai tempat karena ketersediaan bahan bakar yang cukup bagi alat tranportasi, ibu rumah tangga lebih praktis dalam melakukan masak-memasak karena tersedia bahan bakar gas dengan harga terjangkau, dan penerangan listrik bersubsidi tersedia bagi rumah tangga pelanggan berpenghasilan rendah di seluruh Indonesia. Demikian juga sektor industri dapat mengoperasikan unit usahanya karena tersedianya sumber daya energi dan bahan bakar bagi aktivitas bisnisnya. Pada tahun 2017 sektor ESDM menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp178,1 triliun, terdiri dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Rp129,1 triliun dan Pajak Penghasilan Migas sebesar Rp49 triliun. Besaran angka PNBP tersebut menyumbang hampir 50 persen terhadap target PNBP nasional tahun 2017. Di sisi lain, pemerintah mengeluarkan anggaran subsidi energi sebesar RP97,6 triliun, salah satunya karena adanya penambahan subsisi listrik bagi 2,44 juta pelanggan rumah tangga dengan daya 900 Va, sehingga jumlah penerima subsidi listrik mencapai 6,54 juta rumah tangga pelanggan (Kementerian ESDM 2018). Lingkup energi dan sumber daya mineral sangat luas, baik jenis komoditasnya maupun usahanya. Buku ini yang berjudul “Pengelolaan Sumber daya Pertambangan dan Energi: Kasus Panas Bumi dan Batu Bara”, tidak dimaksudkan untuk membahas secara komprehensif keseluruhan sektor ESDM ataupun keseluruhan cakupan aktivitas pertambangan dan energi. Buku ini difokuskan pada pembahasan tiga topik, yaitu isu sosial dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi, pengembangan infrastruktur pertambangan, dan domestic market obligation batu bara.
Tata Kelola Pembangunan Desa

Penulis
No Author
Abstrak
Pekerjaan utama desa adalah menyelenggarakan kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dari penyelenggaraan kewenangan itulah muncul tata kelola (governance), baik relasi-interaksi antara desa dengan supradesa maupun relasi internal dalam desa. Kemandirian (otonomi) merupakan perkara penting sekaligus sebagai visi dalam konteks relasi-interaksi antara desa dengan supradesa. Ketika pemerintah melakukan pembiaran, isolasi atau cuci tangan, maka yang terjadi desa berada dalam kesendirian. Sebaliknya ketika pemerintah melakukan campur tangan berlebihan (intervensi atau imposisi) maka yang terjadi adalah ketergantungan desa terhadap pemerintah dan desa justru menjadi beban berat bagi pemerintah. Cuci tangan terkadang jauh lebih baik ketimbang campur tangan, tetapi yang terbaik adalah turun tangan untuk menciptakan kemandirian (otonomi) desa, yang oleh UU Desa, dirumuskan dengan rekognisi, subsidiaritas, fasilitasi, edukasi, pemberdayaan, dan sebagainya. Demokrasi merupakan jantung sekaligus visi tata kelola internal desa. Dalam hal ini tata kelola internal desa mengandung tiga makna. Pertama , ide dalam bentuk gagasan baik, cita-cita atau visi-misi penyelenggaraan desa. Ini tidak lain adalah demokrasi, kerakyatan atau kedaulatan rakyat. Desa ada memang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di zaman milenial konsep kedaulatan rakyat itu hanya populer di mata para pemimpin politik, sedangkan di mata ilmuwan dan publik, lebih dikenal dengan transparansi, akuntailitas, partisipasi, dan seterusnya. Undang-Undang Desa misalnya telah menyiapkan empat bentuk akuntabilitas desa: (a) akuntabilitas lokal melalui musyawarah desa sebagai arena untuk keterbukaan, pengambilan keputusan kolektif dan pengawasan; (b) akuntabilitas sosial melalui partisipasi dan kontrol sosial dari masyarakat; (c) akuntabilitas horizontal melalui check and balances oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD); dan (d) akuntabilitas vertikal dengan cara pelaporan ke atas dan pengawasan dari atas. Kalau dihitung secara matematik, maka 75% akuntabilitas diletakkan di desa dengan mekanisme desa; dan 25% diletakkan di atas desa. Akuntabilitas yang diletakkan di desa itu bukan sekadar bermakna menyelamatkan uang negara dan mengontrol penyimpangan; tetapi membuat uang rakyat bermakna bagi desa, bukan menghukum koruptor tetapi menumbuhkan kultur integritas dan antikorupsi. Desa akan lebih bermartabat jika akuntabilitas lebih banyak diletakkan dengan mekanisme desa, jika antara pemimpin desa dan masyarakat desa saling membangun kebersamaan yang demokratis, dan jika kepala desa diawasi sendiri oleh rakyatnya.