Pekerjaan utama desa adalah menyelenggarakan
kewenangan mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dari
penyelenggaraan
kewenangan itulah muncul tata kelola (governance), baik
relasi-interaksi
antara desa dengan supradesa maupun relasi internal
dalam desa.
Kemandirian (otonomi) merupakan perkara penting
sekaligus sebagai
visi dalam konteks relasi-interaksi antara desa dengan
supradesa. Ketika
pemerintah melakukan pembiaran, isolasi atau cuci tangan,
maka yang
terjadi desa berada dalam kesendirian. Sebaliknya ketika
pemerintah
melakukan campur tangan berlebihan (intervensi atau
imposisi) maka
yang terjadi adalah ketergantungan desa terhadap
pemerintah dan desa
justru menjadi beban berat bagi pemerintah. Cuci tangan
terkadang
jauh lebih baik ketimbang campur tangan, tetapi yang
terbaik adalah
turun tangan untuk menciptakan kemandirian (otonomi)
desa, yang oleh
UU Desa, dirumuskan dengan rekognisi, subsidiaritas,
fasilitasi, edukasi,
pemberdayaan, dan sebagainya.
Demokrasi merupakan jantung sekaligus visi tata kelola
internal
desa. Dalam hal ini tata kelola internal desa mengandung
tiga makna.
Pertama , ide dalam bentuk gagasan baik, cita-cita atau
visi-misi
penyelenggaraan desa. Ini tidak lain adalah demokrasi,
kerakyatan atau
kedaulatan rakyat. Desa ada memang dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk
rakyat. Di zaman milenial konsep kedaulatan rakyat itu
hanya populer
di mata para pemimpin politik, sedangkan di mata ilmuwan
dan publik,
lebih dikenal dengan transparansi, akuntailitas, partisipasi,
dan
seterusnya.
Undang-Undang Desa misalnya telah menyiapkan empat
bentuk
akuntabilitas desa: (a) akuntabilitas lokal melalui
musyawarah desa
sebagai arena
untuk keterbukaan, pengambilan keputusan kolektif dan
pengawasan;
(b) akuntabilitas sosial melalui partisipasi dan kontrol sosial
dari
masyarakat;
(c) akuntabilitas horizontal melalui check and balances oleh
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD); dan (d) akuntabilitas
vertikal dengan cara
pelaporan ke atas dan pengawasan dari atas. Kalau
dihitung secara
matematik,
maka 75% akuntabilitas diletakkan di desa dengan
mekanisme desa;
dan
25% diletakkan di atas desa. Akuntabilitas yang diletakkan
di desa itu
bukan sekadar bermakna menyelamatkan uang negara dan
mengontrol
penyimpangan; tetapi membuat uang rakyat bermakna
bagi desa, bukan
menghukum koruptor tetapi menumbuhkan kultur
integritas dan
antikorupsi. Desa akan lebih bermartabat jika akuntabilitas
lebih banyak
diletakkan dengan mekanisme desa, jika antara pemimpin
desa dan
masyarakat desa saling membangun kebersamaan yang
demokratis, dan
jika
kepala desa diawasi sendiri oleh rakyatnya.