Sejak reformasi, bangsa Indonesia teramat sibuk dengan urusan politik
praktis dengan segala persoalan dan tantangannya. Kini di era industri
4.0 yang didukung teknologi komunikasi dan informasi yang sangat
cepat, telah merubah tatanan sosial dan bisnis serta perilaku
masyarakat, terutama masyarakat kota menengah ke atas. Era disrupsi
komunikasi dan informasi bukan hanya menjadi tantangan, juga
peluang yang membutuhkan jawaban dari semua elemen kebangsaan.
Dalam dimensi politik dan atau demokratisasi, sedang terjadi gejala
komunikasi yang luar biasa di dunia maya (media sosial). Salah satu
efek negatif dari kebebasan ekspresi warga, kini disalurkan melalui
media sosial dengan segala kontennya yang sangat mengancam
keutuhan relasi kebangsaan. Media sosial (twitter, instagram, youtube,
dlsb) seakan terbelah menjadi komunitas lovers dan haters yang
berlebihan dan atau kebablasan. Kondisi ini menjadi “bom waktu”
dalam membangun SDM yang berkualitas dan berkarakter di seluruh
wilayah NKRI.
Salah satu artikel dari Crispin Thurlow, dkk. (2004) yang berjudul
Unwanted Cammmunication; Aggression and Abuse; Sexual Harassment;
Ethical and Unethical Communication”). Dia mengatakan bahwa media
sosial online (media virtual) memiliki peran amat penting dan
telah menjadi media alternatif bagi masyarakat, khususnya dalam
berdemokrasi. Apresiasi tinggi masyarakat dalam penggunaan sistem
jejaring sosial (social-networking systems ) untuk berkomunikasi dan
sekaligus menyalurkan, mengartikulasikan kepentingan secara online
untuk hal yang bermanfaat ataupun merugikan. Dampak yang
merugikan, para peneliti menemukan sejumlah pers populer telah
mengingatkan kita tentang bahaya potensial yang tersembunyi dari
online dan CMC (Computer Mediated Communication) yang tak beretika.
“Online potential dangers lurking online and unethical
CMC); Online harassment; hate speech online dan online ethics .
Indonesia pengguna media sosial sungguh luar biasa. Menurut
lembaga riset pasar e-Marketer , populasi netter tanah air mencapai
83,7 juta orang pada 2014. Angka yang berlaku untuk setiap orang
yang mengakses internet setidaknya satu kali setiap bulan itu
mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam
hal jumlah pengguna internet. Pada 2017, e-Marketer
memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang,
mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah
pengguna internetnya lebih lamban. Secara keseluruhan, jumlah
pengguna internet di seluruh dunia diproyeksikan bakal mencapai 3
miliar orang pada 2015. Tiga tahun setelahnya, pada 2018,
diperkirakan sebanyak 3,6 miliar manusia di bumi bakal mengakses
internet setidaknya sekali tiap satu bulan. (Kompas.com)
Dengan dinamika yang sangat cepat di atas, tentunya antisipasi
lembaga negara terkait sangat diperlukan tidak hanya pendekatan
dan penegakkan formalitas yuridis melalui UU ITE, khususnya yang
berkaitan dengan ujaran kebencian dan atau negatif di media sosial,
juga terhadap dinamika gerakan netizen dan atau komunitas yang
seringkali melakukan perlawanan sosial terhadap penyimpangan dari
praksis demokrasi yang ditampilkan para elit politik. Aksi ini juga
merupakan jalan terbaik untuk memperingatkan bahwa legitimasi
dan optimalisasi fungsi demokrasi melalui lembaga-lembaga formal
(eksekutif, legislatif, yudikatif ) bentukan pemilu akan menjadi lembaga
yang tak lagi memiliki legitimasi rakyat dan kehilangan makna dan
kepercayaan di mata rakyatnya.
Untuk menjawab berbagai fenomena di atas, melalui buku
Keamanan Siber yang ditulis para pakar di bidang media sosial
sebagai hasil riset, tentunya menjadi menarik untuk disimak dan
dikaji lebih dalam.