Keberadaan pemerintahan merupakan suatu perwujudan dari legitimasi kekuasaan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk merealisasikan tujuan tersebut diperlukan dukungan keuangan yang cukup. Dalam prakteknya, dukungan keuangan tersebut berbentuk Anggaran Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang selanjutnya dapat dilihat sebagai suatu neraca yang memuat bagaimana penerimaan suatu negara dapat dikumpulkan, dan bagaimana pengeluaran itu dialokasikan serta didistribusikan. Di Indonesia, APBN yang setiap tahunnya disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu menjadi perhatian publik. Misalnya bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan personil Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang ditunggu dari APBN adalah apakah ada kebijakan kenaikan gaji atau tidak? Bagi petani akan menunggu apakah masih ada kebijakan subsidi pupuk yang akan diterima. Sedangkan bagi masyarakat luas menimbulkan pertanyaan, apakah masih ada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)? Begitu juga bagi masyarakat miskin, apakah ada program-program yang terkait dengan bantuan? Tak ketinggalan juga bagi pelaku usaha, mereka akan menunggu kebijakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah sehingga dapat berpengaruh terhadap kegiatan usahanya? Dunia usaha berkepentingan terhadap APBN karena APBN menjadi instrumen untuk mengerakkan perekonomian, yaitu jika perekonomian berada dalam kelesuan melalui kebijakan ekspansif, dan sebaliknya jika ingin menurunkan gerak perekonomian pada saat keadaan ‘overhating’ maka pemerintah akan melakukan kebijakan kontraktif. Perkembangan dari tahun ke tahun, mulai dari kemerdekaan sampai sekarang ini, APBN Indonesia selalu mengalami perubahan-perubahan, baik dalam besaran APBN maupun dalam strategi dan kebijakannya, serta sistem pengelolaannya. Berdasarkan hal tersebut menarik untuk mengkaji kebijakan APBN lebih lanjut terutama yang dilihat dari bagaimana pengelolaannya dilakukan selama ini.