Era otonomi daerah yang berkembang luas saat ini telah melahirkan
optimisme bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Hal yang mendasar
dari optimisme semacam ini tentu didasari oleh keinginan kuat dalam
rangka mendorong partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
kebijakan yang lebih luas dibandingkan saat sistem sentralisasi pernah
diterapkan di masa sebelumnya. Pemilukada menempatkan keinginan
partisipasi rakyat tersebut menjadi hal yang paling menentukan dalam
menggerakkan instrumen politik partisipasi rakyat lainnya dalam
pemerintahan. Kekuatan mesin penggerak partisipasi politik dari
pemilukada juga dituntut untuk bersinergi secara positif bagi kinerja
birokrasi pemerintah daerah (pemda) yang dapat melaksanakan tugas
dan kewenangan masing-masing unit organisasinya secara profesional.
Kondisi birokrasi yang professional menjadi salah satu ciri dari kapasitas
dan sekaligus kemampuan dari jajaran aparatnya dalam memberikan
pelayanan publik secara maksimal serta berusaha steril dari segala
macam intervensi politik kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang
ada. Konteks tuntutan professional kinerja birokrasi dan posisinya yang
netral dalam politik, tampaknya masih menjadi sesuatu yang rentan di
kurun waktu penyelenggaraan pemilukada. Jaringan patronase politik
dari para elit baik di pusat maupun di daerah masih menjadi faktor
determinan dalam alokasi resources birokrasi yang seharusnya mampu
berperilaku atas dasar bagi kepentingan seluruh elemen masyarakat
lokal, tanpa kecuali. Ruang lingkup jaringan patronase politik tersebut
bukan berjalan dalam poros yang tunggal, melainkan berkembang
secara beragam, dan ini menjadi warna persaingan antar kekuatan
politik dan masing-masing pasangan calon yang dijagokannya.
Spektrum politik persaingan tidak saja berlangsung dalam tataran formal
antar kekuatan politik partai atau gabunganpartai, maupun melalui jalur
perseorangan, tetapi juga secara operasional politik dengan membawa
serta para pendukung tim suksesnya yang berada dalam skala yang luas,
Sebagai akibat dari campur tangan politisi ke dalam birokrasi, maka
iklim persaingan di antara para birokrat pun menjadi tidak sehat. Bukan
hal aneh, ketika usai pemilukada, berbagai pergeseran dan mobilitas
karier antar aparat, serta bahkan tindakan emosi, terjadi di antara
mereka yang sebelumnya dianggap pendukung atau sebaliknya sebagai
bukan merupakan pendukung kepala daerah pemenang pilkada. Iklim
persaingan semacam ini jelas dapat merusak jalur perjalanan karier
pegawai negeri sipil (PNS) di daerah yang sudah di desain dalam format
birokrasi secara profesional. Di samping itu, beban anggaran negara di
APBD dan APBN juga menjadi persoalan tersendiri, ketika kepala daerah
harus mengakomodasi paraloyalisnya untuk juga masuk ke birokrasi,
menduduki pos-pos strategis, dan bahkan terbanyak adalah melalui jalur
tenaga honor setempat. Pola pengisian formasi PNS sebagai akibat
pemilukada yang sarat dengan potensi politik uang jelas tidak akan
menempatkan birokrasi yang berperan sebagai abdi Negara dan abdi
masyarakat. Sebaliknya, birokrasi menjadi sangat berorientasi kepada
kekuasaan dan biasanya mentransformasikan kepentingan rezim
pengusaha-penguasa dalam proses pengambilan kebijakan. Hal ini
tidak lain dari cerminan lemahnya fundamental politik kepartaian di
Indonesia dan pola demokrasi lokal yang masih berada di tingkatan
prosedural. Taruhan bagi peran birokrasi sebagai agent of society
development yang gagal, adalah posisi kepentingan pelayanan publik
menjadi sangat minim. Apalagi, dengan pendanaan politik pemilukada
yang sarat dengan dugaan politik uang yang merupakan hasil korupsi,
peran ini menjerumuskan otonomi daerah menjadi sekedar ajang bagi-
bagi kekuasaan dan uang di antara aktor-aktor politik yang terlibat.
Menyadari bahaya dari jebakan politik partisan tadi, maka sudah tentu
reformasi pilkada melalui ketentuan perundang-undangan dan perilaku
politik lokal yang kondusif bagi kematangan pemerintahan daerah,
menjadi jawaban yang sangat bermakna strategis. Buku ini mencoba
menguraikan aspek-aspek persoalanitu, dan sekaligus elaborasi lebih
lanjut dari setiap hal- hal yang mendasar dari jawaban reformasi
pemilukada