Pusat Penelitian

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kinerja, Info Judicial Review dan lainnya.

Negara Hukum, Vol. 13, No. 2, November 2022

Penulis
240
Abstrak
Pengaturan pasal di RUU KUHP terkait perbuatan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden mendapat kritik. Pasal tersebut dinilai berpotensi mengancam hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi. Di sisi lain, pembentuk undang-undang juga memiliki raison d’etre yang merupakan urgensi pengaturan pasal. Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam arti penting dari pengaturan substansi pasal tersebut, sekaligus mengkaji bagaimana potensi persinggungan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Kajian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, dengan metode analisis data yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa pasal mengenai perbuatan penyerangan harkat dan martabat presiden atau wakil presiden masih tetap diperlukan/urgen untuk diatur kembali dalam RUU KUHP. Namun dengan catatan, perlu penyesuaian terhadap beberapa penjelasan pasal. Selain itu, bahwa secara umum, konstruksi pasal-pasal tersebut tidak dapat dikatakan telah menyalahi prinsip-prinsip HAM terkait hak atas kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Namun demikian, jaminan perlindungan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers masih tetap perlu dipertegas dalam RUU KUHP. Karena kenyataan di lapangan selama ini, menunjukkan masih ada terjadi salah penerapan dalam penegakan hukum terkait pasal-pasal sejenis pasal penghinaan

Penulis
900000483
Abstrak
Salah satu kekhususan dalam tindak pidana KDRT terletak pada ketentuan Pasal 55 UU PKDRT. Pasal tersebut mensyaratkan minimal alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu cukup dengan keterangan saksi korban ditambah dengan alat bukti lainnya. Dengan demikian, ketika dalam pembuktian dapat menghadirkan seorang saksi selain saksi korban, maka keterangan saksi dan keterangan saksi korban sudah dianggap sebagai alat bukti yang cukup dalam persidangan. Namun pada implementasinya, upaya penguatan alat bukti saksi dalam UU PKDRT belum diimbangi dengan pengaturan yang lengkap terutama berkaitan dengan alat bukti saksi, yaitu berlakunya Pasal 168 KUHAP dalam UU PKDRT. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan menganalisis kedudukan saksi dalam hukum pidana dan kedudukan saksi dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini bertujuan untuk meninjau peran keterangan saksi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana KDRT dan bagaimana hukum mengatur hal tersebut. Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Dengan banyaknya kasus KDRT yang terjadi tiap harinya dan sulitnya pengumpulan alat bukti untuk membuktikan tindak pidana KDRT, maka perlu memformulasikan pengaturan keterangan saksi dalam tindak pidana KDRT baik melalui PERMA maupun revisi UU PKDRT

Penulis
900000486
Abstrak
Pertumbuhan investasi dan ekonomi dapat terhambat dengan keberadaan mafia tanah. Hal ini dikarenakan kejahatan tersebut merupakan kasus pertanahan berdimensi luas, sehingga mengakibatkan sengketa, konflik, dan perkara dengan objek tanah dan ruang yang bernilai ekonomis tinggi. Untuk itu, diperlukan pencegahan yang dimulai dari tingkat administratif. Penelitian ini ingin mengkaji rekonstruksi politik hukum sistem pendaftaran tanah yang ideal sebagai upaya pencegahan mafia tanah. Dengan demikian, diharapkan dapat menemukan tujuan dari ius constituendum dalam sistem pendaftaran tanah yang mampu melakukan pencegahan kejahatan mafia tanah dari tingkat administratif. Penelitian ini merupakan penelitian socio-legal research yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menghasilkan alternatif konstruksi politik hukum baru bagi sistem pendaftaran tanah sebagai upaya pencegahan mafia tanah pada masa mendatang dari tingkat administratif. Rekonstruksi politik hukum tersebut berupa pembaharuan hukum pendaftaran tanah menjadi sistem publikasi positif. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi terhadap UUPA, terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem publikasi negatif. Selain itu, perubahan tersebut perlu diimbangi dengan penerapan sistem pendaftaran tanah secara elektronik, dengan produk hukum berupa sertipikat elektronik dan tetap mengedepankan prinsip good governance. Artikel ini memberi rekomendasi kepada pemerintah segera mungkin melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan untuk penyelesaian kasus pertanahan, khususnya tentang pencegahan mafia tanah, dan DPR RI untuk pengesahan RUU Pertanahan

Penulis
900000490
Abstrak
Asuransi Jiwa Kresna merupakan perusahaan yang pernah dijatuhkan putusan PKPU oleh hakim pengadilan niaga. Dalam kasus tersebut pemohon PKPU adalah pemegang polis, yang berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan. Meski demikian, PKPU dalam kasus ini berakhir dengan disahkannya perjanjian perdamaian (homologasi) antara Asuransi Jiwa Kresna dengan pemegang polisnya. Sementara itu, kreditor lain yang tidak sepakat dengan perjanjian yang telah dihomologasi mengajukan upaya pembatalan ke tingkat kasasi. Mahkamah Agung pun mengabulkan permohonan kasasi tersebut dan memutus PKPU Asuransi Jiwa Kresna batal demi hukum. Tulisan ini mengkaji bagaimana implikasi hukum putusan kasasi terhadap pemegang polis Asuransi Jiwa Kresna, dan bagaimana efektivitas bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang polis pasca putusan kasasi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa putusan kasasi telah mengakibatkan perjanjian yang menjadi dasar pemegang polis untuk menuntut pembayaran Asuransi menjadi batal. Hal itu justru merugikan pemegang polis karena tidak mendapatkan kepastian pembayaran utangnya. Untuk mewujudkan efektivitas perlindungan hukum terhadap pemegang polis, diperlukan pembenahan, seperti perlunya memperbaiki aturan terkait asuransi unit link mulai dari tata kelola, transparansi hingga optimalisasi sistem perlindungan hukum terhadap pemegang polis, dan merealisasikan dibentuknya Lembaga Penjamin Polis.

Penulis
900000492
Abstrak
Isu penundaan Pemilu menjadi perdebatan di ruang publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah penundaan Pemilu dapat diwujudkan di Indonesia? Pertanyaan tersebut muncul karena konstitusi tidak mengatur penundaan Pemilu. Ini menjadi problem bagi Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional dan negara hukum. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana peluang terjadinya penundaan Pemilu di negara hukum?; (2) bagaimana penundaan Pemilu dalam kacamata demokrasi konstitusional?; dan (3) bagaimana formulasi penundaan Pemilu yang konstitusional dan komprehensif? Penelitian ini menggunakan jenis penelitian doktrinal, dengan pendekatan hukum, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Hasil pembahasan menyatakan bahwa peluang penundaan Pemilu di negara hukum dapat dilakukan secara konstitusional dan non-konstitusional. Secara konstitusional dilakukan dengan amandemen konstitusi. Secara non-konstitusional dilakukan dengan mengeluarkan dekrit dan membangun konvensi ketatanegaraan. Jika penundaan Pemilu dilakukan di Indonesia saat ini, akan bertentangan dengan demokrasi konstitusional. Untuk itu, perlu ada formulasi norma dalam konstitusi yang mengatur mengenai penundaan Pemilu dan constitutional deadlock. Simpulan artikel ini menyatakan bahwa peluang penundaan Pemilu di negara hukum dapat dilakukan dengan cara konstitusional dan non-konstitusional; penundaan Pemilu di Indonesia bertentangan dengan demokrasi konstitusional; dan perlu ada formulasi norma yang menyelesaikan constitutional deadlock dalam konstitusi. Untuk itu, MPR disarankan melakukan amandemen konstitusi dalam rangka mencegah constitutional deadlock.

Penulis
900000493
Abstrak
Pengujian undang-undang (UU) ratifikasi selama ini masih menimbulkan polemik terkait boleh atau tidaknya dilakukan constitutional review di Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana kedudukan UU ratifikasi terkait pengujian konstitusionalitas oleh MK. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari bentuk dan urgensinya maka UU ratifikasi memiliki kedudukan yang sederajat dengan UU biasa sehingga secara hukum UU ratifikasi merupakan bagian dari frasa “undang-undang” yang merupakan objek pengujian dari MK. Dilihat dari konsep judicial activism, keaktifan hakim diperlukan dalam pengujian UU ratifikasi berdasarkan konsep the law is non transferability of law supaya UU ratifikasi yang merupakan hasil perjanjian internasional tidak bersifat “sub-ordinasi” bagi hukum nasional. Oleh karena itu, pengujian UU ratifikasi dapat dilakukan di MK dengan cara penafsiran secara ekstensif atas frasa “undangundang” sehingga bukan hanya meliputi UU biasa, namun juga termasuk UU ratifikasi. Selain itu, pengaturan ke depan mengenai pengujian UU ratifikasi maka MK perlu melakukan judicial activism yaitu upaya progresif dan substantif untuk menguji kesesuaian antara UU ratifikasi dengan konstitusi. Hal ini dalam praktiknya, ke depan dapat dilakukan dengan upaya judicial preview sebagai upaya hukum MK menguji UU ratifikasi.
Aspirasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2022

Penulis
No Author
Abstrak
No Description