Pusat Penelitian

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kinerja, Info Judicial Review dan lainnya.

Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 11, No. 2, Desember 2020

Penulis
900000390
Abstrak
Indonesia dan 15 negara lainnya sedang bernegosiasi tentang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) sejak tahun 2013 hingga penelitian ini ditulis. Ini adalah perjanjian perdagangan bebas yang dianggap berbeda dengan yang telah ada sebelum-sebelumnya di Kawasan Asia Pasifik. RCEP akan menghapus tarif dan hambatan nontarif semua perdagangan barang secara substansial serta menghapus secara substansial pembatasan dana atau tindakan diskriminatif sektor jasa. Penelitian ini menguji faktor-faktor kedekatan pembangunan (development proximity) sebagai strategi untuk meningkatkan ekspor di pasar RCEP dengan Model Gravitasi. Model estimasi yang dipergunakan adalah Random Effect Generalized Least Squared dan Prais-Winsten dengan Panels Standard Corrected Errors. Hasil dari estimasi koefisien kemudian dipakai untuk mengetahui ruang pertumbuhan perdagangan dengan menggunakan rasio potensi perdagangan. Hasil dari model estimasi menunjukkan PDB per kapita, tingkat kesamaan PDB per kapita, jarak geografis dan investasi berpengaruh terhadap ekspor Indonesia. Indonesia mempunyai ruang pertumbuhan ekspor di tujuh dari 14 negara di RCEP. Nilai rasio potensi perdagangan tertinggi di pasar RCEP adalah Selandia Baru, Thailand, Australia, Filipina, Korea Selatan, Kamboja, dan Malaysia. Di sektor pertanian, Indonesia mempunyai potensi ekspor dengan delapan dari 14 negara yang tergabung dalam RCEP. Delapan negara tersebut yakni Australia, Kamboja, Laos, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Korea Selatan, dan Thailand. Sementara di sektor manufaktur, Indonesia mempunyai potensi ekspor dengan enam dari 14 negara. Keenam negara tersebut yakni Australia, Kamboja, Selandia Baru, Singapura, Filipina, dan Thailand. Ini artinya Indonesia mempunyai ruang pertumbuhan ekspor yang lebih baik di sektor pertanian dibandingkan dengan sektor manufaktur.

Penulis
900000388
Abstrak
Indonesia dan 15 negara lainnya sedang bernegosiasi tentang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) sejak tahun 2013 hingga penelitian ini ditulis. Ini adalah perjanjian perdagangan bebas yang dianggap berbeda dengan yang telah ada sebelum-sebelumnya di Kawasan Asia Pasifik. RCEP akan menghapus tarif dan hambatan nontarif semua perdagangan barang secara substansial serta menghapus secara substansial pembatasan dana atau tindakan diskriminatif sektor jasa. Penelitian ini menguji faktor-faktor kedekatan pembangunan (development proximity) sebagai strategi untuk meningkatkan ekspor di pasar RCEP dengan Model Gravitasi. Model estimasi yang dipergunakan adalah Random Effect Generalized Least Squared dan Prais-Winsten dengan Panels Standard Corrected Errors. Hasil dari estimasi koefisien kemudian dipakai untuk mengetahui ruang pertumbuhan perdagangan dengan menggunakan rasio potensi perdagangan. Hasil dari model estimasi menunjukkan PDB per kapita, tingkat kesamaan PDB per kapita, jarak geografis dan investasi berpengaruh terhadap ekspor Indonesia. Indonesia mempunyai ruang pertumbuhan ekspor di tujuh dari 14 negara di RCEP. Nilai rasio potensi perdagangan tertinggi di pasar RCEP adalah Selandia Baru, Thailand, Australia, Filipina, Korea Selatan, Kamboja, dan Malaysia. Di sektor pertanian, Indonesia mempunyai potensi ekspor dengan delapan dari 14 negara yang tergabung dalam RCEP. Delapan negara tersebut yakni Australia, Kamboja, Laos, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Korea Selatan, dan Thailand. Sementara di sektor manufaktur, Indonesia mempunyai potensi ekspor dengan enam dari 14 negara. Keenam negara tersebut yakni Australia, Kamboja, Selandia Baru, Singapura, Filipina, dan Thailand. Ini artinya Indonesia mempunyai ruang pertumbuhan ekspor yang lebih baik di sektor pertanian dibandingkan dengan sektor manufaktur.

Penulis
900000392
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi pengaruh aglomerasi terhadap produktivitas tenaga kerja industri pengolahan dengan mempertimbangkan adanya dependensi/keterkaitan spasial (spatial dependence) untuk 110 kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2005, 2010, 2015, dan 2005-2010-2015. Estimasi dilakukan pada data cross section dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) dan ekonometrika spasial. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terjadi hubungan nonlinier antara produktivitas tenaga kerja industri pengolahan dengan aglomerasi dalam bentuk kurva U terbalik. Peningkatan aglomerasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja industri pengolahan, namun kenaikan produktivitas tersebut semakin lama akan mengecil (increasing but diminishing) seiring dengan peningkatan kepadatan tenaga kerja industri pengolahan sebagai ukuran dari aglomerasi. Ketika disimulasikan nilai titik kritis aglomerasi pada kondisi di mana kenaikan kepadatan tenaga kerja sebesar 1 orang/ha hanya akan meningkatkan sebesar kurang dari (<) Rp1.000/orang maka dapat diketahui bahwa Kota Jakarta Utara pada tahun 2005 sudah melewati titik kritis, sementara wilayah lainnya masih berada di bawah titik kritis. Penggunaan estimator maximum likelihood dalam mengestimasi Model Spasial belum konsisten menunjukkan pengaruh terhadap hubungan dampak aglomerasi dan produktivitas tenaga kerja industri pengolahan. Terjadi pula efek curahan (spillover) spasial antarkabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2005 dan gabungan ketiga tahun (2005-2010-2015) berupa efek curahan (spillover) produktivitas tenaga kerja dari wilayah yang bertetangga serta dependensi/keterkaitan spasial (spatial dependence) pada error. Sementara itu, parameter kepadatan outputmenunjukkan hasil yang positif sehingga dapat menunjukkan bahwa aglomerasi menyebabkan eksternalitas positif terhadap outputper luas wilayah di Pulau Jawa.

Penulis
900000393
Abstrak
Sejak tahun 2004 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengoperasikan moda transportasi publik Transjakarta dan mulai mengoperasikan moda transportasi publik baru berupa Mass Rapid Transit (MRT) pada tahun 2019. Akan tetapi, keberadaan kedua moda masih menyisakan beberapa tantangan dalam penataannya. Saat ini, sebagian wilayah operasional Transjakarta bersinggungan dengan wilayah operasional MRT dalam lingkup area yang sama. Selain itu, penataan moda Transjakarta juga masih terkendala integrasi fisik dengan moda baru MRT karena hanya dua halte Transjakarta yang memiliki aksesibilitas dan konektivitas langsung dengan stasiun MRT dalam satu kawasan transit. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan jumlah penumpang Transjakarta terhadap keberadaan moda baru MRT meski saat ini Transjakarta masih terkendala integrasi fisik dengan MRT. Penelitian ini juga bertujuan melihat hubungan komplementer ketika terjadi kenaikan harga tiket MRT terhadap penurunan jumlah penumpang Transjakarta melalui pendekatan elastisitas harga silang. Pengujian hubungan tersebut dilakukan menggunakan data harian di tingkat halte melalui metode regresi data panel dengan pendekatan Model Fixed Effect. Hasil estimasi menunjukkan bahwa keberadaan MRT berhubungan dengan peningkatan jumlah penumpang Transjakarta sebesar 36,5 persen pada halte Transjakarta yang berada dalam radius 250 meter terhadap stasiun MRT. Namun, penelitian ini belum menemukan cukup bukti adanya hubungan komplementer terkait kenaikan harga tiket MRT terhadap penurunan jumlah penumpang Transjakarta.

Penulis
900000395
Abstrak
Koperasi merupakan salah satu lembaga keuangan yang dapat memberikan pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang masih terkendala masalah modal. Banyaknya jumlah UMKM yang terkendala masalah pembiayaan mengindikasikan terdapat banyaknya permintaan akan pembiayaan namun belum diimbangi dengan jumah koperasi yang dapat memberikan pembiayaan kepada UMKM. Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, saat ini sebaran koperasi belum merata ke setiap wilayah Indonesia sehingga banyak rumah tangga yang terkendala aksesiblitas untuk mengakses pembiayaan koperasi. Pada penelitian ini aksesibilitas koperasi diproksikan dengan kepadatan koperasi. Pada penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara kepadatan koperasi terhadap keputusan mengakses pembiayaan koperasi dengan data Susenas Maret 2018 dan sampel sebanyak 283.478 rumah tangga. Dengan mengidentifikasi hubungan tersebut, dapat diketahui apakah koperasi masih menjadi salah satu alternatif pilihan pembiayaan atau bukan. Berdasarkan hasil regresi Multinomial Logit menunjukkan bahwa kepadatan koperasi mempunyai hubungan terhadap keputusan rumah tangga mengakses pembiayaan di koperasi. Kepadatan koperasi meningkatkan keputusan mengakses pembiayaan pada rumah tangga di koperasi. Bertambahnya jumlah koperasi akan meningkatkan inklusi keuangan sehingga dapat membantu masyarakat yang membutuhkan pinjaman. Pemerintah perlu melakukan program penumbuhan koperasi di Indonesia dalam rangka peningkatan inklusi keuangan. Namun kepadatan koperasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan rumah tangga mengakses pembiayaan di selain koperasi, sehingga program penumbuhan koperasi sebaiknya dilakukan pada daerah yang belum terdapat lembaga keuangan pada daerah tersebut.
Negara Hukum, Vol. 11, No. 2, November 2020

Penulis
900000373
Abstrak
Semangat perumus Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) untuk melakukan kodifikasi total semua ketentuan pidana, termasuk yang berkaitan dengan pelanggaran berat HAM, ditandai dengan ketidak-konsistenan antara rumusan yang diatur dengan standar dalam sejumlah instrumen hukum internasional. Berdasarkan hal tersebut, artikel ini disusun untuk mendiskusikan tantangan hukum yang akan timbul dari pengaturan tentang pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP. Dengan menggunakan metode kualitatif dan deskriptif normatif, artikel ini menemukan 3 (tiga) permasalahan antara ketentuan RUU KUHP dan kerangka hukum internasional, yaitu (i) istilah “Tindak Pidana Berat terhadap HAM” yang tidak tepat (ii) kejahatan genosida, dan (iii) kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan pembahasan, artikel ini menyimpulkan bahwa ketentuan pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang mengikat dan berlaku bagi Indonesia. Oleh karena itu, artikel ini memberikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan kembali ketentuan pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP agar sepadan dengan ketentuan hukum internasional.

Penulis
240
Abstrak
Gagasan mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan curang oleh advokat dalam proses peradilan mendapat perhatian masyarakat, terutama dari kalangan advokat. Norma hukum pidana mengenai perbuatan curang oleh advokat dalam RUU KUHP menimbulkan banyak pertanyaan dari sudut pandang kebijakan kriminalisasi. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut dalam RUU KUHP. Kajian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan metode analisis yang bersifat deskriptif analitis. Pembahasan di antaranya menyimpulkan bahwa perbuatan curang oleh advokat dalam bentuk perbuatan “main dua kaki” dan perbuatan “mempengaruhi pihak-pihak dalam proses penegakan hukum dengan atau tanpa imbalan” merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat patut untuk dihukum. Pengaturan ini bertujuan untuk melindungi klien yang meminta jasa pendampingan hukum. Rumusan pengaturan ini kemudian menjadi diatur untuk melengkapi norma hukum pidana terkait profesi advokat yang ada selama ini. Namun dari aspek formulasi delik, masih ada yang perlu dibenahi agar tidak menimbulkan multitafsir saat penerapannya,khususnya terkait dengan Pasal 282 RUU KUHP.

Penulis
900000293
Abstrak
Homoseksualitas dipandang sebagai penyimpangan perilaku, tidak sedikit homoseksual menjadi latar belakang terjadinya suatu tindak pidana. Menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang memiliki latar belakang homoseksualitas, tidak serta merta menjadi solusi penyelesaian suatu kejahatan. Pidana justru memberikan dampak negatif terhadap pelaku, seperti stigmatisasi dan terhambatnya upaya mengembalikan orientasi seksual pelaku. Tujuan pemidanaan dalam pembaruan hukum pidana adalah memperbaiki pelaku menjadi individu yang lebih baik. Berdasarkan latar belakang tersebut, “double track system” menjadi gagasan yang relevan untuk diupayakan, terlebih saat ini Indonesia sedang berada pada periode pembaruan hukum pidana nasional. Permasalahan yang diangkat yakni kedudukan homoseksualitas dalam hukum pidana dan gagasan double track system terhadap pelaku tindak pidana berlatarbelakang homoseksualitas. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Hasil yang didapat bahwa homoseksualitas bukan merupakan tindak pidana menurut hukum pidana positif Indonesia, hanya saja homoseksualitas dapat menjadi penyebab terjadinya tindak pidana. Pelaku tindak pidana tersebut dapat diberikan sanksi tindakan, mengingat dalam ilmu kejiwaan mengenal adanya berbagai terapi pengembalian orientasi seksual. Ide double track system merupakan cerminan pembaruan hukum pidana nasional yang berorientasi kepada nilai-nilai keseimbangan. Manfaat tersebut dapat dijadikan pijakan untuk segera melakukan kebijakan legislasi double track system bagi pelaku tindak pidana yang berlatarbelakang homoseksual dalam sistem pemidanaan di Indonesia.

Penulis
187
Abstrak
Hakim konstitusi memiliki periode masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Ketentuan ini telah coba dikoreksi melalui permohonan uji materi terhadap UU Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi tidak ada putusan MK yang menyatakan periode masa jabatan hakim konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Tulisan ini menganalisis mengenai perlunya reformulasi ketentuan mengenai periode masa jabatan hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Analisis mengenai periode masa jabatan hakim konstitusi juga dilakukan dengan membandingkan prinsip internasional dan praktik di negara lain. Periode masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali memiliki kelemahan, karena membuka peluang pengaruh politik dan kontroversi pada pengajuan calon hakim konstitusi periode kedua. Periode masa jabatan ini perlu diubah dengan masa jabatan yang lebih lama tanpa perpanjangan dikombinasikan dengan usia pensiun. Penentuan periode masa jabatan hakim konstitusi yang dikaitkan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman tidak dapat lepas dari persyaratan, seleksi, pengawasan, dan pemberhentian hakim konstitusi. Persyaratan, mekanisme seleksi, pengawasan, dan pemberhentian hakim konstitusi juga perlu disempurnakan.

Penulis
900000375
Abstrak
Perpres Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan RI (KKRI) tidak memuat secara tekstual ketentuan hukum acara tentang tindak lanjut laporan pengaduan masyarakat (lapdumas). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah KKRI memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan dan pengusutan secara langsung sebagai bagian dari kewenangan menindaklanjuti lapdumas. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 a dan 4 b Perpres No. 18 Tahun 2011 dapat diketahui bahwa setelah KKRI menerima lapdumas, KKRI memiliki dua opsi kewenangan yakni menindaklanjuti secara langsung atau meneruskan lapdumas tersebut kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti pengawas internal. Namun, tidak adanya ketentuan tertulis di dalam Perpres No. 18 Tahun 2011, menimbulkan tafsir KKRI tidak berwenang melakukan pemeriksaan, pengusutan, penyelidikan secara langsung. Hal ini mendorong penulis untuk menafsirkan kewenangan KKRI dalam menindaklanjuti lapdumas berdasarkan perspektif hukum progresif. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif, yang bertujuan untuk mendapatkan argumentasi hukum tentang dimensi pengawasan sebagai tindak lanjut laporan pengaduan masyarakat. Tulisan ini diharapkan dapat berdaya guna dalam pengembanan tugas pengawasan oleh KKRI. Di bagian akhir, tertuang rekomendasi mengenai perlunya pengaturan kewenangan sebagai penguatan bagi KKRI dalam menjalankan tugas pengawasan serta kewenangan penjatuhan sanksi apabila terjadi ketidakpatuhan. Pada tataran operasional, diperlukan penyamaan persepsi antara KKRI dengan Kejaksaan RI agar tercipta sinergitas dalam menjalankan tugas pengawasan.

Penulis
900000376
Abstrak
Lampiran UU Pemda 2014 telah membagi secara detail urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren tersebut, pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah. Kehadiran daftar urusan pemerintahan yang spesifik menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana pemerintahan daerah dapat “menjabarkan” urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian ini berfokus pada dua permasalahan, yaitu: (1) konstruksi konstitusional kewenangan mengatur pemerintahan daerah; dan (2) penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan mengkaji data sekunder, dengan sifat penelitian deskriptif, serta berbentuk evaluatif dan preskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya alternatif penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan dalam pembentukan peraturan daerah, yaitu: (1) pelaksanaan kewenangan mengatur secara legalistik-formal, mendasarkan kewenangan dan NSPK yang ditetapkan Pemerintah secara kaku; (2) pelaksanaan kewenangan mengatur secara normatif-ekstensif, yaitu selain mendasarkan pada kewenangan dan NSPK, Daerah juga memperhatikan kebutuhan hukum di Daerah; dan (3) pelaksanaan kewenangan mengatur secara supra-ekstensif, dimana Daerah mengatur melebihi koridor kewenangan dan NSPK. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan dalam perumusan NSPK diperlukan kecermatan Pemerintah Pusat, sehingga dapat menjadi pedoman pelaksanaan urusan pemerintahan yang luwes dan dapat mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat di daerah.

Penulis
209
Abstrak
UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) mengamanatkan pembentukan sejumlah aturan pelaksana dalam jangka waktu dua tahun sejak UU tersebut diundangkan. Akan tetapi hanya tiga aturan pelaksana yang berhasil diundangkan dalam jangka waktu tersebut. Sedangkan sisanya, ada yang terlambat dan ada yang belum terbit. Untuk mengatasinya pemerintah melakukan diskresi dengan tetap memberlakukan aturan lama. Tulisan ini membahas mengenai dampak pelanggaran aturan batas waktu pembentukan peraturan pelaksana dari UU PPMI, sehingga dapat diketahui upaya mengatasi dampak tersebut. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif melalui studi perpustakaan untuk menemukan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun dari pembahasan diketahui bahwa penyebab dilanggarnya batas waktu pembentukan aturan pelaksana adalah adanya kendala teknis dan materi peraturan. Pelanggaran tersebut berdampak tidak terlaksananya sebagian besar ketentuan dalam UU PPMI dan berpengaruh pada proses pelindungan pekerja migran Indonesia (PMI), baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja, seperti masih adanya pembebanan biaya penempatan; adanya penampungan PMI yang menjadi sumber penularan Covid-19; dan maraknya praktik perbudakan PMI pelaut. Oleh karena itu, semua peraturan pelaksana dari UU PPMI perlu segera diundangkan. DPR melalui fungsi pengawasan, baik di Komisi maupun Tim Pengawas PMI, perlu terus mendesak pemerintah membentuk aturan pelaksana dari UU PPMI.

Penulis
900000378
Abstrak
Minuman alkohol tradisional telah ada di budaya masyarakat Indonesia dengan berbagai tujuan peruntukan. Perkembangan eksistensinya dipengaruhi oleh minuman beralkohol racikan yang memberi pengaruh buruk ke citra alkohol tradisional. Minuman alkohol tradisional sesungguhnya merupakan produk berbasis kekayaan intelektual di bidang warisan budaya dan indikasi asal yang memiliki karakteristik sehingga tidak dapat disamakan dengan minuman beralkohol lainnya, meskipun regulasi yang ada saat ini masih mengatur sebaliknya. Tulisan ini meneliti mengenai pelindungan hukum minuman alkohol tradisional khas Indonesia yang disesuaikan pula dengan karakteristiknya dan pengaruh budaya hukum masyarakat Indonesia terhadap minuman alkohol tradisional tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan perbandingan dengan Korea Selatan dan Prancis.Pelindungan hukum yang bijak dan objektif dari sudut pandang Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) terhadap minuman alkohol tradisional diharapkan dapat mengembangkan aspek positif dengan tetap mengantisipasi aspek negatifnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa minuman alkohol tradisional khas Indonesia yang memenuhi 3 karakteristik khusus dapat dilindungi sebagai warisan budaya tak benda (milik publik) ataupun indikasi asal (milik masyarakat lokal) walaupun yang lebih tepat untuk diterapkan saat ini adalah indikasi asal sehingga Pemerintah perlu menyesuaikan perancangan regulasi di tingkat pusat sesuai indikasi asal.